Tidak berbicara masalah agama jika tidak ada pendahulu

💥 Tidak mengatakan suatu permasalahan agama, saat tidak ada seorang imam atau pendahulu dalam masalah itu

Dan suatu hal yang aneh setelah 14 abad hijriyyah ini, ada seorang penuntut ilmu yang bersendirian pada suatu permasalahan yang baru muncul, yang tidak ada seorang salaf dalam permasalahan itu, dan kebenaran itu seolah-olah ada pada perkataannya.

🖊Berkata Imam Asy Syafi'i rahimahullaahu ta’ala

‎كل من تكلم فى شيء من هذه الأهواء ليس فيه أمام متقدم من النبي وأصحابه فقد أحدث فى الإسلام ، وقد قال النبي  من احدث أو آوى محدثا فى الإسلام فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين ، لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا.

”Setiap yang berbicara pada suatu permasalahan muncul dari hawa nafsu ini
sementara tidak ada imam terdahulu dalam masalah itu dari Nabi ﷺ  dan para sahabatNya, maka sungguh ia telah
mengadakan perkara baru dalam agama, dan sungguh Rasulullah ﷺ telah bersabda ’siapa yang berbuat bi'dah atau melindungi pelaku bidah dalam Islam , maka atasnya laknat Allah, MalaikatNya  dan seluruh manusia. Dan Allah tidak menerima darinya amalan wajib dan Sunnah.”
📚 Manaqib Asy Syafi'i Lil Baihaqi 2/335

🖊Berkata Imam Ahmad kepada sebagian sahabatnya

‎إياك أن تتكلم فى مسألة ليس لك فيها امام.

”Berhati-hati kamu berbicara pada suatu masalah yang tidak ada bagi kamu  seorang imam (pendahulu) dalam masalah itu”
📚 I'lam Al Muwaqqiin 4/266

🖊Berkata Imam Ahmad pada riwayat Al Maimuuniy

‎من تكلم فى شيء ليس له فيها إمام ، أخاف عليه الخطأ

”Siapa yang berbicara pada suatu perkara, yang tidak ada terhadapnya seorang imam pada perkara tersebut, maka saya khawatir atasnya salah.”
📚 Al Adabu Asy Syar'iah 2/60

🖊Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu ta’ala

‎لكن لا يمكن العالم أن يبتدىء قولا لم يعلم به قائلا

”Tidak mungkin seorang alim untuk memulai suatu pendapat yang ia tidak
mengetahui siapa yang mengucapkan pendapat tersebut.”
📚 Majmu’ al Fatawa 20/247

🖊Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu ta’ala berkata :

‎ “قال الإمام أحمد لبعض أصحابه: إياك أن تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام والحق التفصيل؛ فإن كان في المسألة نص من كتاب الله أو سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو أثر عن الصحابة لم يكره الكلام فيها.

“Imam Ahmad berkata kepada sebagian sahabatnya,

’Janganlah engkau berucap dalam suatu permasalahan yang engkau tidak memiliki imam (pendahulu) di dalamnya’

Yang benar, hal ini perlu mendapatkan
rincian. Jika dalam permasalahan tersebut terdapat dalil dari al Qur'an, hadits atau atsar shahabat maka berbicara dalam masalah tersebut tidaklah terlarang.

‎وإن لم يكن فيها نص و لا أثر فإن كانت بعيدة الوقوع أو مقدرة لا تقع لم
‎يستحب له الكلام فيها.

Jika tidak ada dalil ataupun atsar di dalamnya maka jika permasalahan
tersebut hanya kemungkinan kecil terjadi di alam nyata atau permasalahan tersebut hanyalah pengandaian yang tidak ada di alam nyata maka kita tidak dianjurkan untuk berbicara tentangnya.

‎وإن كان وقوعها غير نادر ولا مستبعد وغرض السائل الإحاطة بعلمها ليكون
‎منها على بصيرة إذا وقعت استحب له الجواب بما يعلم.لا سيما إن كان السائل يتفقه بذلك ويعتبر بها نظائرها، ويفرع عليها فحيث كانت مصلحة الجواب راجحة كان هو الأولى”اهـ

Jika permasalahan tersebut kejadiannya tidaklah langka dan tidak pula mustahil akan terjadi dan tujuan penanya adalah ingin tahu sehingga punya ilmu jika sewaktu-waktu terjadi maka dianjurkan untuk memberikan jawaban sebatas ilmu yang dimiliki oleh orang yang ditanyai. Terlebih lagi jika penanya adalah orang yang mencari kepahaman dengan jawaban yang disampaikan dan dia bisa mengembangkannya dalam kasus-kasus lain yang semisal artinya manfaat menjawab itu lebih besar maka menjawab adalah hal yang lebih baik.”
📚 I'lam al Muwaqqi'in 4/222.

Dan soal kita ajukan kepada ulama yaman yang berkaitan dengan masalah ini.

‎احسن الله اليك يا شيخنا
‎قول الامام احمد : إياك أن تتكلم فى مسألة لك ليس فيها امام، أشكل علينا : هل لا بدّ فى كل مسألة  لنا الامام ولو قد وجد  فيها النص من أية
‎والحديث ، أو لا بدّ من مسألة حادثة التي تحتاج اجتهادية استنباطية. نريدvالتوضيح؟؟؟

Soal
Perkataan Imam Ahmad rahimahullaahu ta’ala ’Berhati-hati kamu berbicara pada suatu masalah, yang kamu tidak punya pendahulu (imam) dalam masalah itu.’

Masih ada sedikit keganjalan atas kami : apakah harus pada setiap masalah, kami harus ada imam (pendahulu) dalam
mengucapkannya, walaupun telah didapatkan dalil dari ayat dari alquran dan hadits ataukah dalam permasalahan yang baru muncul, yang membutuhkan ij’tihad
dalam sisi pengambilan dalil (butuh seorang imam pendahulu), kami ingin
penjelasan

[9/8 5:50 PM] الشيخ حسن بالشعيب: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
[9/8 5:54 PM]: قال الإمام ابن القيم رحمه الله تعالى في كتابه القيم
‎"إعلام الموقعين عن رب العالمين" (4/204): الْفَائِدَةُ السَّبْعُونَ: إذَا حَدَثَتْ حَادِثَةٌ لَيْسَ فِيهَا
‎قَوْلٌ لِأَحَدٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ، فَهَلْ يَجُوزُ الِاجْتِهَادُ فِيهَا بِالْإِفْتَاءِ وَالْحُكْمُ أَمْ لَا؟

🖊Berkata Asy Syaikh al Faqih Hasan Basy Syuaib hafizhohulloohu ta'ala

Beliau menukilkan perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu ta’ala  dalam kitabnya yang berharga “i’lam al muwaqqiin ‘an robbil ‘alamin 4/204.”

🖊Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu ta’ala berkata :

Faidah ke 70
Jika terjadi permasalahan yang baru muncul, dan tidak ada perkataan seseorang dari alim ulama dalam masalah tersebut, apakah boleh berij’tihad didalamnya dengan memberikan fatwa dan hukum atau tidak??

”Ada tiga sisi pendapat dari ulama dalam masalah ini.

‎أَحَدُهَا: يَجُوزُ، وَعَلَيْهِ تَدُلُّ فَتَاوَى الْأَئِمَّةِbوَأَجْوِبَتُهُمْ؛ فَإِنَّهُمْ كَانُوا يُسْأَلُونَ عَنْ حَوَادِثَ لَمْ تَقَعْ قَبْلَهُمْ فَيَجْتَهِدُونَ فِيهَا، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ
‎فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِنْ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ» وَهَذَا يَعُمُّ مَا اجْتَهَدَ فِيهِ مِمَّا لَمْ يَعْرِفْ فِيهِ قَوْلَ مَنْ قَبْلَهُ وَمَا عَرَفَ فِيهِ أَقْوَالًا وَاجْتَهَدَ فِي الصَّوَابِ مِنْهَا، وَعَلَى هَذَا دَرَجَ السَّلَفُ وَالْخَلَفُ، وَالْحَاجَةُ دَاعِيَةٌ إلَى ذَلِكَ لِكَثْرَةِ الْوَقَائِعِ وَاخْتِلَافِ الْوَقَائِعَ رَأَيْتَ مَسَائِلَ كَثِيرَةً وَاقِعَةً وَهِيَ غَيْرُ مَنْقُولَةٍ، وَلَا يُعْرَفُ فِيهَا كَلَامٌ لِأَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ، وَلَا لِأَتْبَاعِهِمْ.

Yang pertama. Boleh baginya untuk berfatwa dan memberikan hukum dalam suatu permasalahan yang baru muncul atau terjadi, dan fatwa fatwa
ulama dan jawaban mereka menunjukkan akan bolehnya hal itu, sebab
mereka para ulama telah di tanya akan kejadian-kejadian yang tidak
terjadi sebelumnya, maka merekapun para ulama berij’tihad didalamnya,
dan sungguh Nabi telah bersabda : jika seorang hakim (alim) berij’tihad
dan benar dalam ijtihadnya maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah
mendapatkan satu pahala. Hadits ini mencakup keumuman dari apa yang
dia berij’tihad dalam perkara yang ia tidak ketahui akan pendapat ulama sebelumnya dan pada perkara yang ia ketahui pendapat pendapat para ulama, dan ia berijtihad dalam mencari kebenaran dari pendapat-pendapat ulama tersebut. Dan atas dasar inilah yang dijalankan para
ulama terdahulu dan yang datang setelahnya.Sebab kebutuhan yang
mendorong akan hal itu, karena banyaknya kejadian-kejadian dan
perbedaan kejadian. Dan kamu telah melihat permasalahan permasalahan yang banyak terjadi yang tidak dinukil, dan tidak diketahui pendapat para imam mazhab dan pengikut mereka.

‎وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لَهُ الْإِفْتَاءُ، وَلَا الْحُكْمُ، بَلْ يَتَوَقَّفُ حَتَّى يَظْفَرَ فِيهَا بِقَائِلٍ، قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ لِبَعْضِ، أَصْحَابِهِ: إيَّاكَ أَنْ تَتَكَلَّمَ فِي مَسْأَلَةٍ لَيْسَ لَك فِيهَا إمَامٌ.

Dan yang kedua. Tidak boleh baginya untuk berfatwa dan memberikan
hukum, bahkan ia tawaqquf (menahan diri untuk tidak menjawab) sampai ia mendapatkan pada permasalahan itu, seorang alim yang telah mengucapkannya (atau berpendapat).

Berkata Imam Ahmad kepada sebagian sahabatnya, ’Berhati hati kamu dalam berbicara pada suatu permasalahan, sementara tidak ada imam bagimu dalam masalah itu.’

‎ وَالثَّالِثُ: يَجُوزُ ذَلِكَ فِي مَسَائِلِ الْفُرُوعِ، لِتَعَلُّقِهَا بِالْعَمَلِ، وَشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَيْهَا، وَسُهُولَةِ خَطَرِهَا،
‎وَلَا يَجُوزُ فِي مَسَائِلِ الْأُصُولِ.

Dan yang ketiga. Boleh baginya untuk berfatwa dalam masalah masalah
cabang, sebab itu berhubungan dengan amalan dan sangat butuhnya akan masalah itu, dan bahayanya ringan, dan sementara tidak boleh dalam masalah masalah ushul (pokok).

‎وَالْحَقُّ التَّفْصِيلُ، وَأَنَّ ذَلِكَ يَجُوزُ، بَلْ يُسْتَحَبُّ أَوْ يَجِبُ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَأَهْلِيَّةِ الْمُفْتِي وَالْحَاكِمِ، فَإِنْbعُدِمَ الْأَمْرَانِ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ وُجِدَ أَحَدُهُمَا دُونَ
‎الْآخَرِ احْتَمَلَ الْجَوَازَ، وَالْمَنْعَ، وَالتَّفْصِيلَ، فَيَجُوزُ لِلْحَاجَةِ دُونَ عَدَمِهَا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. اهـ

Dan yang benar dalam masalah ini adalah terdapat rincian, bahwa boleh baginya untuk berfatwa dan memberikan hukum pada kejadian yang baru muncul sementara tidak ada pendapat dari ulama sebelumnya, bahkan hal itu bisa jadi dianjurkan atau menjadi wajib ketika ada hajat dan yang berfatwa dan memberikan hukum memang memiliki keahlian serta kecakapan(dalam ilmu). Maka jika tidak ada dua perkara tersebut, tidak
boleh berfatwa. Dan jika didapatkan salah satu dari keduanya tanpa yang lain, Maka ini ada kemungkinan, hukumnya boleh dan terlarang, dan rinciannya adalah boleh jika ada hajat, dan tidak boleh, jika tanpa ada hajat. Wallohu a’lam”

✍Disusun oleh:

Abu Hanan As- Suhaily Utsman As Sandakany.

5 Safar 1440 -  14 Oktober 2018

‎🌾 *من مجموعة نصيحة للنساء* 🌾

Sumber :
https://t.me/Nashihatulinnisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Belajar Di Jami'ah Islamiyyah Madinah

Menanggapi akan makruh nya istri memakai celana dalam

Berqurban Sesuai Dengan Sunnah Rosulullooh ﷺ