Hukum Hukum Seputar Masjid
HUKUM-HUKUM SEPUTAR MASJID
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله رَبّ العَالَمِينَ.أمّا بعدُ:
Telah sampai pertanyaan kepada Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy yang berbunyi:
Apa hukum masjid yang ada mihrobnya, karena ada ustadz lulusan Dammaj mengatakan bahwa masjid ada mihrobnya tasyabbuh dengan gereja?, padahal masjid di Dammaj juga ada mihrobnya, juga masjid Nabawiy ada mihrobnya, mana yang benar dalam masalah ini?”.
Jawabannya:
Dengan melihat hal tersebut maka kami akan jelaskan sebagai berikut:
Penggunaan kata “mihrob” secara bahasa lebih umum dari pada secara syar’iy.
Secara bahasa “mihrob” adalah:
المَوْضع العَالي المُشْرِفُ، وهُو صَدْر المَجْلس، وَمِنْهُ سُمّي مِحْرَاب المسْجد، وَهُوَ صَدْرُه وأشْرَف مَوْضِع فِيهِ.
“Tempat yang tinggi lagi mulia, dan dia adalah di depannya majlis, dan diantaranya dinamakan mihrob masjid, yang dia adalah depannya (masjid) dan paling utamanya tempat di dalamnya”. Pengertian ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu AtsirRohimahulloh di dalam “An-Nihayah fi Ghoribil Hadits“.
Dan paling utamanya tempat di masjid adalah tempat imam dan shof pertama.
Dari pengertian secara bahasa ini diketahui bahwa tempat imam yang berada di depan shof jama’ah dikatakan pula sebagai mihrob, jadi bila didapati suatu hadits yang menjelaskan bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar ke mihrobnya di masjid, maka itu berma’na bahwa beliau keluar ke tempat sholatnya ya’ni di tempat imam.
Adapun bila dilihat dari hukum syar’iy tentang mihrob maka ini tidak pernah diadakan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, walaupun di sana ada sebagian ulama menganggap boleh membuat mihrob dengan alasan untuk kemaslahatan atau supaya kaum muslimin mengetahui kiblat, namun pendapat ini adalah lemah, karena seseorang bisa mengetahui kiblat dengan adanya mimbar di dalam masjid, keberadaan mimbar itulah yang mengisyaratkan arah kiblat, karena mimbar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diletakan di arah kiblat, beliau berkata:
«مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي…».
“Apa yang di antara rumahku dan mimbarku…”. Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon. Dan ketika itu mimbar dan rumah beliau berada di arah kiblat.
Adapun perkataan mereka (padahal masjid di Dammaj juga ada mihrobnya, juga masjid Nabawiy ada mihrobnya) maka ini bukan hujjah.
Alhamdulillah masjid Jami’ Ahlissunnah di Dammaj tidak ada mihrobnya, yang ada di sana hanya mimbar, dan imam sholat di antara mimbar dengan lemari tempat pengeras suara. Kalaupun didapati di Dammaj ada masjid yang memiliki mihrob maka ketahuilah bahwa masjid itu adalah masjid kaum muslimin masyarakat Dammaj, ada beberapa masjid di Dammaj yang memiliki mihrob namun perlu diketahui bahwa masjid itu dibangun dan dipegang olah masyarakat Dammaj yang bukan penuntut ilmu syar’iy, perbuatan mereka bukan hujjah dan tidak pula untuk ditiru.
Begitu pula masjid Nabawiy sekarang ini, terdapat mihrob di dalamnya maka bukan berarti menunjukan tentang bolehnya mihrom, walaupun beberapa ulama membolehkannya, akan tetapi yang dijadikan contoh adalah sunnah RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Kita ketahui bersama bahwa masjid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu sangat sederhana, namun dari perbuatannya ketika sholat di masjid tersebut tidak ada isyarat tentang pembolehan adanya mihrob, sebagaimana ketika beliau sholat di masjidnya dengan sholat langsung di atas pasir (dengan tanpa ada pengalas) namun ada isyarat dari dalil lain bahwa beliau sholat dengan menggunakan pengalas, sebagai dalil tentang kebolehannya.
Maka bila seperti ini jelas kita katakan bahwa mihrob di masjid bukan sunnah dan bahkan dia adalah perkara yang diada-adakan, karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak membuatkan kamar khusus untuknya ketika mengimami manusia, padahal ketika itu sangat memungkinkan untuk beliau mengambil pelepah atau batang korma lalu dipajang di sekelilingnya sehingga menjadi mihrob untuk beliau gunakan dalam mengimami manusia.
Dari penjelasan ini, menunjukan bahwa pendapat yang terkuat–Insya Alloh- bahwasanya mihrom adalah perkara baru yang diada-adakan.
Al-Wadi’iy Rohimahulloh berkata di dalam “Tuhfatul Mujib“:
“وكذا ما يسمونه بالمحراب، وما ينصبونه على أرباع المسجد والتي تسمى بالشرفات، هذا لم يرد في مسجد رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم”.
“Dan demikian pula apa yang mereka menamainya dengan mihrob, dan apa yang mereka letakan di depan masjid yang mereka namai dengan syarofat, ini tidak ada (dalilnya) pada masjid Rosulilloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam“.
Dan Ibnul Hammam di dalam “Al-Fath” menukil tentang dibencinya seorang imam sholat di mihrob, karena adanya penyerupaan dengan Ahlul Kitab.
Maka dari keterangan ini semakin jelaslah kalau yang namanya mihrob adalah perkara baru. Wallohu A’lam bish Showwab.
Pertanyaan:
Ada seseorang mengatakan: “Bangun saja masjid lantainya pasir, dan atapnya dari pelepak kelapa” karena itu mengikuti nabi, dia mengatakan tidak boleh memperindah masjid dengan tanaman dan lain-lain.
Jawabannya:
Kalau mereka tidak memiliki dana atau mereka memiliki dana namun lebih diperioritaskan untuk kepentingan da’wah yang lainnya maka saran seperti itu tepat pada tempatnya, sebagaimana dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, perbendaharaan da’wah digunakan untuk jihad dan da’wah di jalan Alloh, begitu pula di zaman Abu Bakr dan Umar, harta simpanan da’wah selalu minim, bahkan Umar menginginkan perbendaharaan di Baitulloh untuk disalurkan ke jalan Alloh. Hal demikian itu menunjukan harta kaum muslimin ketika itu sangat minim.
Adapun pada generasi setelahnya mulailah perekonomian meningkat, mujahidin kaum muslimin mulai digaji dan masjid Nabawiy mulai dilakukan perbaikan dengan menggunakan batu dan yang semisalnya, Al-Bukhoriy dan Muslim meriwayatkan di dalam “Shohih” keduanya:
“أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، أَرَادَ بِنَاءَ الْمَسْجِدِ، فَكَرِهَ النَّاسُ ذَلِكَ، فَأَحَبُّوا أَنْ يَدَعَهُ عَلَى هَيْئَتِهِ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ مِثْلَهُ»”.
“Bahwasanya Utsman bin ‘Affan ingin membangun (memperbaharui) masjid, maka manusia membenci demikian itu, mereka senang untuk dibiarkannya sebagaimana keadaannya (semula), maka beliau berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Barangsiapa membangun masjid untuk Alloh maka Alloh akan membangunkan baginya di Jannah yang semisalnya“.
Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu berdalil dengan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjelaskan bahwa perbuatannya bukan bid’ah. Dan ketika itu perbendaharaan kaum muslimin melimpah, masukan dana dari daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh kaum muslimin banyak, dan da’wah Islam tersebar ke seluruh penjuru.
Berbeda dengan keadaan di zaman ini, da’wah Ahlussunnah wal Jama’ah terjepit disebabkan kekurangan dana, para da’i tidak bisa diutus dan disebar ke pelosok daerah yang membutuhkan da’i, bersamaan dengan itu di daerah tertentu sebagian orang yang mengaku sebagai Ahlissunnah berlomba-lomba memperindah masjid di pondok-pondok pesantren mereka dan masjid-masjid di tempat lainnya diperindah, sementara di daerah lainnya sangat membutuhkan saluran dana untuk da’wah dan membutuhkan da’i, maka bila seperti ini keadaannya tidak dibenarkan memperbagus masjid sebagaimana yang kita saksikan di zaman ini, mereka berbangga-bangga dengan masjid mereka, padahal Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ».
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga terhadap masjid“. Hadits ini shohih, diriwayatkan oleh Ashhabussunan kecuali At-Tirmidziy dari hadits Anas bin Malik.
Menyalurkan dana ke jalan Alloh baik untuk jihad, pengiriman para da’i ke daerah-daerah atau mencetak dan menyebarkan buku-buku agama itu lebih baik dari pada memperbagus masjid yang sudah ada, sebagaimana telah kita sebutkan bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr dan Umar tidak memperbagus masjid karena ketika itu lebih mengutamakan kepada yang paling terpenting yaitu da’wah dan jihad di jalan Alloh.
Kemudian yang perlu diperhatikan bahwa kebanyakan masjid di zaman ini menghilangkan kekhusyu’an di dalam sholat, mereka menghiasi masjid dengan hiasan yang melalaikan orang-orang yang sholat, di dinding masjid terdapat beraneka macam warna, begitu pula lantai atau karpetnya banyak warna warninya; terkadang bergambar masjid, pohon korma, bergambar pedang dan yang semisalnya maka seperti ini tidak sepantasnya. Dan pekerjaan mereka itu melalaikan mereka pula dari kesibukan menuntut ilmu dan kesibukan dalam beribadah.
Al-Bukhoriy meriwayatkan di dalam “Shohih“nya dari hadits Anas bin Malik, beliau berkata:
“كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا، فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلاَتِي»”.
“Dahulu ada kain penutup miliknya Aisyah yang dia gunakan untuk tabir (penutup) di pinggir rumahnya, maka RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Hilangkanlah olehmu penutup ini dari kami, karena sesungguhnya gambar-gambarnya memalingkan (mengilangkan kekhusyu’an kami) di dalam sholat“.
Rumah Aisyah ketika itu di arah kiblat masjid, jadi bagi orang-orang yang sholat, kain tersebut tidak menutup kemungkinan untuk mereka melihatnya, karena dia memasangnya di samping rumahnya.
Al-Wadi’iy Rohimahulloh berkata di dalam “Tuhfatul Mujib“:
فالسنة أن يكون المسجد متواضعًا، وإن استطعت أن يكون المسجد كمسجد رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم فعلت، وإن لم تستطع فلا تتكلف، ولا تتأنق في بناء المساجد فإنه مخالف للسنة”.
“Maka sunnahnya adalah hendaknya masjid sederhana, jika kamu mampu untuk menjadikan masjid keberadaannya seperti masjid Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka lakukan, jika kamu tidak mampu maka janganlah memberat-beratkan diri, dan janganlah kamu bermegah-megahan dalam membangun masjid-masjid karena itu menyelisihi sunnah”.
Dan beliau berkata di dalam “Syar’iyatush Sholati Binni’al“:
“ولو بقيت المساجد على ما كانت عليه في عصر النبوة لكان خيرًا”.
“Dan kalaulah ada masjid-masjid atas apa yang ada di zaman kenabian maka tentu dia adalah baik”.
Sebagian orang memberat-beratkan diri dengan membangun masjid hanya berlantai pasir namun mereka tidak melihat kalau perbuatannya memberikan madhorat besar terhadap da’wah, baik dihancurkan masjidnya atau mereka diusir atau madhorat besar lainnya, bila keadaannya seperti ini maka hendaknya dia tidak lakukan, cukup baginya hanya dengan menyemen lantainya hingga madhorat itu hilang darinya, berbeda halnya kalau tidak ada madhorat sebesar itu maka tidak mengapa melakukannya.
Kemudian yang perlu diketahui, kalau seseorang ingin membangun masjid, maka hendaknya dia menimbang dengan keadaan da’wah, jangan sampai dia memperbagus masjidnya namun ternyata dananya diperoleh dari hasil minta-minta, atau dia memperbagus masjidnya namun dibelahan pulaunya ternyata da’wah dihinakan, para da’i tidak bisa berda’wah karena tidak ada dukungan berupa dana dan yang semisalnya, atau dia membangun masjid ternyata melalaikan manusia dari tuntunan Islam; sholat tidak khusyu’ di dalamnya disebabkan gambar-gambar dan hiasan-hiasan beraneka ragam.
Pertanyaan:
Apa hukumnya membuat lantai dua di luar masjid khusus untuk tempat azannya muadzdzin?.
Jawaban:
Hukumnya sama dengan hukum menara, Al-Wadi’iy Rohimahulloh berkata:
“ولا تتأنق في بناء المساجد فإنه مخالف للسنة، وكذلك الزخرفة، والمنارة”.
“Dan janganlah kamu bermegah-megahan dalam membangun masjid-masjid karena itu menyelisihi sunnah, demikian pula zhukhruf dan manaroh”.
Manaroh (menara) tidak disyari’atkan, karena tujuan mu’adzdzin Rosulillah Bilal Rodhiyallohu ‘Anhu naik dibangunan tinggi supaya tersampaikan suaranya ke penduduk, adapun sekarang sudah cukup dengan pengeras suara, seseorang azan di dalam masjid namun suaranya sampai ke lingkungan warga, maka seperti ini tidak membutuhkan menara, lagi pula di zaman Nabi tidak disediakan menara khusus tempat muadzdzin untuk azan.
Bila perkampungan kecil atau manusia berada di suatu tempat misalnya di suatu padang, bila muadzdzin azan terdengar suara azannya di tengah-tengah mereka maka tidak perlu lagi bagi muadzdzin untuk naik ke tempat yang tinggi, hal ini sebagaimana terjadi di zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ketika mereka sedang safar lalu mereka ketiduran, kemudian beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membangunkan muadzdzinnya, maka muadzdzinnya bangun kemudian azan dan tidak ada riwayat menjelaskan bahwa beliau mencari bukit atau tempat tinggi untuk azan di atasnya, akan tetapi beliauShollallohu ‘Alaihi wa Sallam langsung berkata kepadanya:
«يَا بِلاَلُ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ».
“Wahai Bilal, bangun, lalu kumandangkanlah azan kepada manusia untuk sholat“. Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dari hadits Abu Qotadah.
Diambil dari penjelasan singkatnya Abu Ahmad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘Anhu.
Sumber :
https://ashhabulhadits.wordpress.com/2013/10/13/hukum-mihrab-masjid-dalam-islam/#more-3210
Komentar
Posting Komentar