Tabayyun menurut Ahlussunnah
Tabayyun Menurut Ahlus Sunnah
Berbeda Dengan Hawa Nafsu Ahlul Bid’ah “”
Disusun Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsi Al Indunisiy
Di Darul Hadits Salafiyyah Dammaj Yaman
-semoga Alloh menjaganya-
Malam Rabu, tanggal 11 Shofar 1433 H
بسم ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﻝ : { ﻭﻣﺎ ﺃﻣﺮﻭﺍ ﺇﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪ ﻣﺨﻠﺼﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺣﻨﻔﺎﺀ ﻭﻳﻘﻴﻤﻮﺍ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺆﺗﻮﺍ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭﺫﻟﻚ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ } ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍً ﻋﺒﺪﻩ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﻝ : )) ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺎ ﻧﻮﻯ . ﻓﻤَﻦْ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﺠﺮﺗﻪ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﻬﺠﺮﺗﻪ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ، ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﺠﺮﺗﻪ ﻟﺪﻧﻴﺎ ﻳﺼﻴﺒﻬﺎ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻳﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺮﺗﻪ ﺇِﻟَﻰ ﻣﺎ ﻫﺎﺟﺮ ﺇﻟﻴﻪ (( ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ :
Sesungguhnya Alloh ta’ala telah menurunkan Al Qur’an untuk menjadi petunjuk bagi para hamba-Nya. Alloh ta’ala berfirman:
ﺇِﻥَّ ﻫَـﺬَﺍ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻳِﻬْﺪِﻱ ﻟِﻠَّﺘِﻲ ﻫِﻲَ ﺃَﻗْﻮَﻡُ ﻭَﻳُﺒَﺸِّﺮُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ﺃَﻥَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺃَﺟْﺮﺍً ﻛَﺒِﻴﺮﺍً
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,” (QS. Al Isro: 9).
Dan Alloh telah memudahkan Al Qur’an bagi kaum Mukminin yang niatnya bersih, dan bersungguh-sungguh mencurahkan daya untuk mempelajari dan memahaminya. Alloh ta’ala berfirman:
ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻳَﺴَّﺮْﻧَﺎ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻟِﻠﺬِّﻛْﺮِ ﻓَﻬَﻞْ ﻣِﻦ ﻣُّﺪَّﻛِﺮٍ
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 17).
Juga berfirman:
﴿ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺟَﺎﻫَﺪُﻭﺍ ﻓِﻴﻨَﺎ ﻟَﻨَﻬْﺪِﻳَﻨَّﻬُﻢْ ﺳُﺒُﻠَﻨَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻤَﻊَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ ﴾
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami, pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami, dan sesungguhnya Alloh itu benar-benar bersama dengan orang yang berbuat ihsan.” (QS Al ‘Ankabut 67)
Akan tetapi para pengekor hawa nafsu terhalangi dari memahami Al Qur’an. Alloh ta’ala berfirman:
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻇْﻠَﻢُ ﻣِﻤَّﻦ ﺫُﻛِّﺮَ ﺑِﺂﻳَﺎﺕِ ﺭَﺑِّﻪِ ﻓَﺄَﻋْﺮَﺽَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻭَﻧَﺴِﻲَ ﻣَﺎ ﻗَﺪَّﻣَﺖْ ﻳَﺪَﺍﻩُ ﺇِﻧَّﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﺃَﻛِﻨَّﺔً ﺃَﻥ ﻳَﻔْﻘَﻬُﻮﻩُ ﻭَﻓِﻲ ﺁﺫَﺍﻧِﻬِﻢْ ﻭَﻗْﺮﺍً ﻭَﺇِﻥ ﺗَﺪْﻋُﻬُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻓَﻠَﻦ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﺍ ﺇِﺫﺍً ﺃَﺑَﺪﺍً
“Dan siapakah yang lebih zholim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Robbnya lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan sekalipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (QS. Al Kahfi: 57).
Di antara contoh kasus nyata ketidakpahaman para pengekor hawa nafsu terhadap Al Qur’an adalah slogan mereka untuk MENGHARUSKAN MANUSIA UNTUK TABAYYUN (MENCARI KEJELASAN) KEPADA PIHAK MEREKA SECARA LANGSUNG, DALAM BERITA YANG DIRASA MERUGIKAN PIHAK MEREKA, SEKALIPUN TELAH ADA BUKTI DAN SAKSI . [1]
Perkara ini telah saya jelaskan dalam kandungan beberapa risalah, akan tetapi berhubung ada permintaan untuk menjelaskannya lagi dan terulang-ulangnya pengkaburan yang dilakukan oleh para hizbiyyun, maka saya dengan memohon pertolongan kepada Alloh akan berusaha memenuhinya, semoga Alloh memberikan keberkahan di dalamnya. Wabillahittaufiq:
Bab Satu:
Dalil Yang Dipakai Ahlul Ahwa Dalam Mengharuskan Adanya “Tabayyun” Terhadap Berita Orang Yang Terpercaya
Beberapa ikhwah Salafiyyun telah beberapa kali menantang Ahlul Ahwa untuk menampilkan dalil yang mereka pakai untuk mengharuskan Adanya “Tabayyun” terhadap berita tsiqoh (Orang Yang Terpercaya), ternyata mereka berdalilkan firman Alloh ta’ala:
] ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖٌ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓَﺘَﺒَﻴَّﻨُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒُﻮﺍ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺑِﺠَﻬَﺎﻟَﺔٍ ﻓَﺘُﺼْﺒِﺤُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻢْ ﻧَﺎﺩِﻣِﻴﻦَ [ [ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ 6/ ]
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian seorang fasiq dengan suatu berita, maka carilah kejelasan, jangan sampai kalian menimpakan kecelakaan pada suatu kaum dengan ketidaktahuan sehingga jadilah kalian menyesal dengan apa yang kalian lakukan.” (QS Al Hujurot 6).
Mereka berkata: dalam ayat ini Alloh memerintahkan untuk tabayyun terhadap berita!
Di antara ahlul ahwa ada yang berdalilkan dengan kisah Umar ibnul Khoththob dan Abu Musa Al Asy’ariy ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ :
: ﺟﺎﺀ ﺃﺑﻮ ﻣﻮﺳﻰ ﺇﻟﻰ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻫﺬﺍ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻓﻠﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻫﺬﺍ ﺃﺑﻮ ﻣﻮﺳﻰ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﺛﻢ ﺍﻧﺼﺮﻑ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺩﻭﺍ ﻋﻠﻲ ﺭﺩﻭﺍ ﻋﻠﻲ ﻓﺠﺎﺀ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﻣﺎ ﺭﺩﻙ ؟ ﻛﻨﺎ ﻓﻲ ﺷﻐﻞ ﻗﺎﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ( ﺍﻻﺳﺘﺌﺬﺍﻥ ﺛﻼﺙ ﻓﺈﻥ ﺃﺫﻥ ﻟﻚ ﻭﺇﻻ ﻓﺎﺭﺟﻊ ) ﻗﺎﻝ ﻟﺘﺄﺗﻴﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺑﺒﻴﻨﺔ ﻭﺇﻻ ﻓﻌﻠﺖ ﻭﻓﻌﻠﺖ ﻓﺬﻫﺐ ﺃﺑﻮ ﻣﻮﺳﻰ
ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺇﻥ ﻭﺟﺪ ﺑﻴﻨﺔ ﺗﺠﺪﻭﻩ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﻨﺒﺮ ﻋﺸﻴﺔ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﺑﻴﻨﺔ ﻓﻠﻢ ﺗﺠﺪﻭﻩ ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻥ ﺟﺎﺀ ﺑﺎﻟﻌﺸﻲ ﻭﺟﺪﻭﻩ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻝ ؟ ﺃﻗﺪ ﻭﺟﺪﺕ ؟ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻗﺎﻝ ﻋﺪﻝ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﻄﻔﻴﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻫﺬﺍ ؟ ﻗﺎﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﺫﻟﻚ ﻳﺎ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻓﻼ ﺗﻜﻮﻧﻦ ﻋﺬﺍﺑﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺳﻤﻌﺖ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺄﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﺃﺗﺜﺒﺖ . ( ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ [ 2154 ]).
“Datanglah Abu Musa kepada Umar ibnul khoththob seraya berkata: “Assalamu’alaikum, ini Abdulloh bin Qois.” Tapi beliau tidak diidzinkan masuk. Lalu beliau berkata lagi: “Assalamu’alaikum, ini Abu Musa.” “Assalamu’alaikum, ini Al Asy’ariy”. Kemudian beliaupun pulang. Maka Umar ibnul khoththob berkata: “Kembalikan dia kepadaku, kembalikan dia kepadaku,” maka datanglah Abu Musa. Maka Umar berkata: “Wahai Abu Musa, apa yang membuat Anda kembali? Kami tadinya sedang dalam kesibukan.” Maka Abu Musa menjawab: “Saya mendengar Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda: “Meminta idzin itu tiga kali, jika engkau diidzinkan maka masuklah, jika tidak maka kembalilah.”
Umar berkata: “Engkau harus mendatangkan padaku bayyinah (bukti) atas kebenaran adanya hadits ini. Jika tidak maka aku akan menindakmu.” Maka pergilah Abu Musa. Umar berkata (pada orang-orang di sampingnya): “Jika dia mendapatkan bayyinah, kalian akan mendapatinya ada di samping mimbar sore ini. Tapi jika dia tidak mendapatkan bayyinah kalian tak akan mendapatinya.” Manakala Abu Musa datang pada sore hari, mereka mendapatinya di mimbar. Maka Umar berkata: “Wahai Abu Musa, apa yang akan engkau katakan? Apakah engkau telah mendapatinya?” beliau menjawab: “Iya, Ubai bin Ka’b.” Umar berkata: “Adil. Wahai Abuth Thufail, apa sih yang diucapkan olehnya?” Ubai bin Ka’b menjawab: “Aku mendengar Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ mengucapkan itu. Wahai Ibnul Khoththob, janganlah engkau menjadi siksaan terhadap para Shohabat Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .” Maka Umar menjawab: “Subhanalloh, aku hanyalah mendengar sesuatu lalu aku ingin mencari ketetapan.” (HR. Muslim (2154) dengan lafazh ini. Asal hadits juga diriwayatkan Al Bukhoriy (2062)).
Mereka berkata: di dalam kisah ini Umar ibnul Khoththob ingin tatsabbut terhadap kabar Abu Musa!
Mereka juga punya syubhat: Orang tsiqoh juga bisa keliru!
Bab Dua:
Bantahan Terhadap Pendalilan Ahlul Ahwa dengan Ayat “Tabayyun”
Firman Alloh ta’ala:
] ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖٌ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓَﺘَﺒَﻴَّﻨُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒُﻮﺍ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺑِﺠَﻬَﺎﻟَﺔٍ ﻓَﺘُﺼْﺒِﺤُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻢْ ﻧَﺎﺩِﻣِﻴﻦَ [ [ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ 6/ ]
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian seorang fasiq dengan suatu berita, maka carilah kejelasan, jangan sampai kalian menimpakan kecelakaan pada suatu kaum dengan ketidaktahuan sehingga jadilah kalian menyesal dengan apa yang kalian lakukan.” (QS Al Hujurot 6)
Jawaban pertama: Ayat ini bukanlah memerintahkan kita untuk bertabayyun terhadap berita secara mutlak, hanya saja perintah ini ditujukan kepada kita jika ada ORANG FASIQ datang membawa berita.
Al Imam Ibnu Katsir ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻳﺄﻣﺮ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﺘﺜﺒﺖ ﻓﻲ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﻟﻴُﺤﺘَﺎﻁَ ﻟﻪ، ﻟﺌﻼ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ - ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻷﻣﺮ - ﻛﺎﺫﺑًﺎ ﺃﻭ ﻣﺨﻄﺌًﺎ، ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻗﺪ ﺍﻗﺘﻔﻰ ﻭﺭﺍﺀﻩ، ﻭﻗﺪ ﻧﻬﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﻳﻦ . ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ [ 7 370/ ]
“Alloh ta’ala memerintahkan untuk tatsabbut (mencari ketetapan) tentang kabar dari orang fasiq agar disikapi dengan hati-hati agar tidak ditegakkan hukuman berdasarkan ucapannya sehingga jadilah –kenyataannya- dia berdusta atau salah, sehingga jadilah orang yang menghukumi dengan perkataan si fasiq tadi telah berjalan di belakangnya, padahal Alloh telah melarang untuk mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/7/hal. 370).
Al Imam Asy Syinqithiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﻗﺪ ﺩﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﻣﻦ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﺮﻳﻦ : ﺍﻷﻭﻝ ﻣﻨﻬﻤﺎ : ﺃﻥ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﺇﻥ ﺟﺎﺀ ﺑﻨﺒﺈ ﻣﻤﻜﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺣﻘﻴﻘﺘﻪ ، ﻭﻫﻞ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﺣﻖ ﺃﻭ ﻛﺬﺏ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺘﺜﺒﺖ . ( ﺃﺿﻮﺍﺀ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻓﻲ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ [ 7 469/ ]
“Ayat dari suroh Al Hujurot ini menunjukkan kepada dua perkara. Yang pertama adalah: bahwasanya orang fasiq jika datang dengan suatu berita yang memungkinkan untuk diketahui hakikatnya: dan apakah yang dikatakan si fasiq ini benar ataukah dusta, maka wajib untuk tatsabbut di situ.” (“Adhwaul Bayan”/7/hal. 469).
Sementara kasus kita sekarang ini adalah: seorang salafiy adil tsiqoh datang dengan persaksian bahwa si fulan berkata demikian dan demikian, atau datang dengan membawa rekaman muhadhoroh terbuka yang isinya si fulan berkata demikian dan demikian. Maka sangat tidak pantas menjadikan ayat yang berlaku untuk orang fasiq ditimpakan kepada orang tsiqoh.
Alloh ta’ala berfirman:
ﺃًﻡْ ﺣَﺴِﺐَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺟْﺘَﺮَﺣُﻮﺍ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃّﻥ ﻧَّﺠْﻌَﻠَﻬُﻢْ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ﺳَﻮَﺍﺀ ﻣَّﺤْﻴَﺎﻫُﻢ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗُﻬُﻢْ ﺳَﺎﺀ ﻣَﺎ ﻳَﺤْﻜُﻤُﻮﻥَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. ” (QS. Al Jatsiyah:21)
Lebih jelasnya lagi adalah:
Jawaban kedua: sesungguhnya ayat tabayyun ini mengaitkan perintah untuk tabayyun, pada suatu sifat, yaitu shifatul fisq (kefasikan), dengan huruf FA (ARTINYA: MAKA), sebagai gambaran sebab akibat, maka ini menunjukkan bahwasanya sifat tersebut adalah ‘illah (motif) dari perintah tadi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata ketika membicarakan perintah untuk menyelisihi orang kafir:
ﺃﻧﻪ ﺭﺗﺐ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺻﻒ ﺑﺤﺮﻑ ﺍﻟﻔﺎﺀ ﻓﻴﺪﻝ ﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻋﻠﺔ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻭﺟﻪ . ( ﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ [ 1 172/ ]).
“Sang pembuat syariat menjadikan hukum tadi sebagai akibat dari sifat tersebut dengan huruf FA (artinya: maka), maka hal ini menunjukkan bahwasanya sifat tadi adalah ‘illah untuk hukum tadi, dari beberapa segi.” (“Iqtidhoush Shirothol Mustaqim”/1/hal. 172).
Jika telah jelas bahwasanya ‘illah dari perintah tabayyun tadi adalah: fasiqnya sang pembawa berita, maka masuklah kita pada kaidah yang terkenal:
ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻳﺪﻭﺭ ﻣﻊ ﺍﻟﻌﻠﺔ ﺍﻟﻤﺄﺛﻮﺭﺓ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭﻋﺪﻣﺎ . ( ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺴﺮﺧﺴﻲ [ 2 182/ ]
“Karena sesungguhnya hukum itu beredar bersama ‘illah yang berpengaruh, dalam keadaan ada ataupun tiada.” (“Ushul As Sarkhosi”/2/hal. 182).
Jika ada ‘illah, berlakulah hukum, tapi jika ‘illah tadi tidak ada, maka hukum tadipun tiada. Jika yang membawa berita adalah orang fasiq, maka kita diperintahkan untuk tabayyun. Tapi jika yang membawa berita adalah orang tsiqoh, maka tidaklah kita diperintahkan tabayyun.
Maka dari itu, sungguh keliru perintah Ahlul Ahwa untuk tabayyun langsung kepada mereka saat orang tsiqoh membawa berita yang memojokkan mereka.
Jawaban ketiga: justru firman Alloh ta’ala ini adalah dalil Ahlussunnah tentang bolehnya menerima berita tsiqoh tanpa harus tabayyun.
Ayat ini berbentuk SYARAT (jika terjadi demikian dan demikian, maka harus berbuat ini dan itu). Dan pola SYARAT itu punya mafhum mukholafah.
Al Imam Asy Syinqithiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻬﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻷﺻﻮﻝ ﻣﻦ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻷﻥ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ } : ﺇِﻥ ﺟَﺂﺀَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖُ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓﺘﺒﻴﻨﻮﺍ { ﻳﺪﻝ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺧﻄﺎﺑﻪ ، ﺃﻋﻨﻲ ﻣﻔﻬﻮﻡ ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﻲ ﺑﻨﺒﺈ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻏﻴﺮ ﻓﺎﺳﻖ ﺑﻞ ﻋﺪﻻً ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﺍﻟﺘﺒﻴﻦ ﻓﻲ ﻧﺒﺌﻪ . ( ﺃﺿﻮﺍﺀ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻓﻲ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ [ 7 469/ ]
“Yang kedua: dia itu adalah perkara yang dipakai sebagai dalil oleh para ahli ushul tentang dibolehkannya menerima berita dari orang yang adil, karena firman Alloh ta’ala: “Jika datang pada kalian orang yang fasiq dengan suatu berita maka carilah kejelasan” menunjukkan dengan DALIL KHITHOB, yaitu mafhum mukholafah (yang dipahami dari kebalikannya) bahwasanya orang yang datang dengan membawa berita itu, jika dia bukan orang fasiq, bahkan dia adalah orang adil, TIDAKLAH HARUS TABAYYUN TENTANG BERITANYA.” (“Adhwaul Bayan”/7/hal. 469).
Dalam ayat ini Alloh ta’ala memerintahkan untuk melakukan tabayyun jika ada orang fasiq datang dengan suatu berita. Maka dipahami dari ayat ini bolehnya menerima berita orang tsiqoh dan menjadikannya sebagai dasar untuk bertindak dan sebagainya. Al Imam Al Bukhory rohimahulloh meletakkan “Kitab Akhbaril Ahad” dalam “Shohih”nya:
ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺇﺟﺎﺯﺓ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻟﺼﺪﻭﻕ …
“Bab dalil-dalil yang datang dalam penerimaan kabar satu orang yang jujur ..”
lalu beliau rohimahulloh menyebutkan beberapa dalil di antaranya adalah:
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖٌ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓَﺘَﺒَﻴَّﻨُﻮﺍ {
Al Imam Al Qurthubiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻋﺪﻻ، ﻻﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻣﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﺘﺜﺒﺖ ﻋﻨﺪ ﻧﻘﻞ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ . “) ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ ” 16/ 312/ )
“Dalam ayat ini ada dalil tentang diterimanya berita satu orang jika dia itu adil, karena Alloh ta’ala di dalam ayat ini hanyalah memerintahkan tatsabbut pada penukilan berita orang fasiq.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/16/hal. 312).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:
ﻷﻧﻪ ﻋﻠﻞ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺄﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻧﺎ ﻓﺎﺳﻖ ﺑﻨﺒﺄ ﺧﺸﻴﺔ ﺃﻥ ﻧﺼﻴﺐ ﻗﻮﻣﺎ ﺑﺠﻬﺎﻟﺔ ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺻﻴﺐ ﺑﻨﺒﺄ ﻛﺬﻟﻚ ﻟﻢ ﻳﺤﺼﻞ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﺑﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﻭﺍﺿﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﺻﺎﺑﺔ ﺑﻨﺒﺄ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻻ ﻳﻨﻬﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﻣﻄﻠﻘﺎ ..
“..Karena Alloh menyebutkan motif perintah tabayyun tadi dengan jika datang pada kita orang yang fasiq yang membawa berita, khawatir kita akan menimpakan sesuatu pada suatu kaum dengan kebodohan. Andaikata setiap orang yang ditimpai sesuatu berdasarkan suatu berita itu demikian (harus ditabayyuni), niscaya tak akan terjadi perbedaan antara orang adil dengan orang fasiq . Bahkan dalil-dalil ini jelas menunjukkan tidak terlarangnya menimpakan hukuman dengan berdasarkan berita dari satu orang yang adil secara mutlak.. (“Majmu’”/15/307)
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam rangka meruntuhkan syubuhat Mu’tazilah dalam masalah khobarul Ahad menyebutkan beberapa dalil di antaranya adalah dengan ayat tatsabbut. Beliau berkata:
ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﺰﻡ ﺑﻘﺒﻮﻝ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﺜﺒﻴﺖ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺧﺒﺮﻩ ﻻ ﻳﻔﻴﺪ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﺜﺒﺖ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﺼﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ .
“Dan ini menunjukkan keharusan menerima kabar satu orang, karena dia itu tidak butuh tatsabbut. Andaikata kabar satu orang itu tidak memberikan faidah ilmu, pastilah Alloh memerintahkan untuk tatsabbut sampai akhirnya menghasilkan ilmu.” (“Mukhtashor” hal. 577)( [2] ).
Al Imam Abdurrohman As Sa’diy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﺑﻞ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻨﺪ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ، ﺍﻟﺘﺜﺒﺖ ﻭﺍﻟﺘﺒﻴﻦ، ﻓﺈﻥ ﺩﻟﺖ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺍﻟﻘﺮﺍﺋﻦ ﻋﻠﻰ ﺻﺪﻗﻪ، ﻋﻤﻞ ﺑﻪ ﻭﺻﺪﻕ، ﻭﺇﻥ ﺩﻟﺖ ﻋﻠﻰ ﻛﺬﺑﻪ، ﻛﺬﺏ، ﻭﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ، ﻓﻔﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ، ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﺼﺎﺩﻕ ﻣﻘﺒﻮﻝ، ﻭﺧﺒﺮ ﺍﻟﻜﺎﺫﺏ، ﻣﺮﺩﻭﺩ، ﻭﺧﺒﺮ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﻣﺘﻮﻗﻒ ﻓﻴﻪ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻳﻘﺒﻠﻮﻥ ﺭﻭﺍﻳﺎﺕ ﻛﺜﻴﺮ [ ﻣﻦ ] ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ، ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻓﻴﻦ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﺴﺎﻗًﺎ . “) ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﺴﻌﺪﻱ ” / ﺹ 799 ).
“Bahkan yang wajib ketika datang kabar dari orang fasiq adalah tatsabbut dan tabayyun. Jika ada alamat-alamat dan faktor penyerta yang menunjukkan pada kejujurannya, beritanya tadi bisadiamalkan dan dibenarkan. Tapi jika alamat-alamat tadi menunjukkan kedustaannya, maka didustakanlah dia dan tidak diamalkan. Maka dalam ayat ini ada dalil bahwasanya berita orang yang jujur itu diterima, dan berita dari orang yang pendusta itu ditolak, sementara berita dari orang fasiq itu dihentikan dulu sebagaimana yang telah kami sebutkan. Oleh karena itu dulu Salaf menerima riwayat-riwayat dari kebanyakan Khowarij yang terkenal kejujurannya, sekalipun mereka itu fasiq.” (“Taisirul karimir Rohman”/hal. 799).
Jawaban keempat: Hikmah diperintahkan tabayyun terhadap kabar fasiq adalah agar jangan sampai kita menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum berdasarkan ketidaktahuan, sehingga akhirnya kita menyesal. Alloh ta’ala berfirman:
] ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒُﻮﺍ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺑِﺠَﻬَﺎﻟَﺔٍ ﻓَﺘُﺼْﺒِﺤُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻢْ ﻧَﺎﺩِﻣِﻴﻦَ [ [ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ 6/ ]
“ jangan sampai kalian menimpakan kecelakaan pada suatu kaum dengan ketidaktahuan sehingga jadilah kalian menyesal dengan apa yang kalian lakukan.” (QS Al Hujurot 6).
Al Imam Asy Syaukaniy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata dalam tafsir ayat ini:
ﻷﻥ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﻣﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﺍﻷﻣﺮ ، ﻭﻟﻢ ﻳﺘﺜﺒﺖ ﻓﻴﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ ﻭﻫﻮ ﺟﻬﺎﻟﺔ؛ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺼﺪﺭ ﻋﻦ ﻋﻠﻢ “) ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻘﺪﻳﺮ ” 7/ 10/ ).
“… dikarenakan kesalahan dari orang yang tidak mencari kejelasan perkara dan tidak mencari kepastian dalam masalah tersebut itulah yang sering terjadi, dan itu merupakan kebodohan, karena tidak bersumber dari ilmu.” (“Fathul Qodir”/7/hal. 10).
Adapun kasus kita sekarang ini adalah: Ahlussunnah membongkar kebatilan Ahlul Ahwa berdasarkan persaksian dan berita orang tsiqoh. Dan telah lewat ucapan para imam bahwasanya kabar satu orang tsiqoh itu memberikan faidah ilmu, bukan sekedar dugaan belaka, apalagi dikatakan sebagai kebodohan.
Kalaupun kita mengalah dan mengatakan bahwasanya berita tsiqoh tidak memberikan faidah ilmu, tapi hanya GHOLABATUZH ZHONN (tidak pasti, akan tetapi kemungkinan besar benar), maka yang dimikian itu tidaklah menghalangi kita untuk menerima dan mengamalkannya, karena hal itu bukanlah masuk dalam kategori JAHALAH (ketidaktahuan), maka kami Ahlussunnah tidaklah melanggar ayat.
Al Imam Al Qurthubiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻓﺈﻥ ﻗﻀﻰ ﺑﻤﺎ ﻳﻐﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﻦ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺫﻟﻚ ﻋﻤﻼ ﺑﺠﻬﺎﻟﺔ، ﻛﺎﻟﻘﻀﺎﺀ ﺑﺎﻟﺸﺎﻫﺪﻳﻦ ﺍﻟﻌﺪﻟﻴﻦ، ﻭﻗﺒﻮﻝ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ . ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﻟﺔ ﻗﺒﻮﻝ ﻗﻮﻝ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻏﻠﺒﺔ ﺍﻟﻈﻦ ﺑﻘﺒﻮﻟﻪ . ﺫﻛﺮ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﻘﺸﻴﺮﻱ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﺍﻟﻤﻬﺪﻭﻱ . “) ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ ” 16/ 313/ )
“Jika dia memutuskan dengan sesuatu memberikan faidah dugaan yang dominan (kemungkinan besar benar), bukanlah yang demikian itu merupakan pengamalan dengan ketidaktahuan, seperti memutuskan perkara dengan dua saksi yang adil, dan menerima ucapan seorang alim mujtahid. Hanyalah dikatakan beramal dengan ketidaktahuan: jika menerima perkataan orang yang tak bisa memberikan faidah dugaan yang dominan (kemungkinan besar benar) jika ucapannya diterima. Masalah ini disebutkan oleh Al Qusyairiy, dan yang sebelumnya adalah Al Mahdawiy.” (“Al Jami’”/16/hal. 313).
Maka bagaimana lagi jika orang tsiqoh yang membawa berita tadi juga memperkuat beritanya dengan rekaman suara yang didapatkan dari muhadhoroh umum? Maka yang demikian itu bukanlah kebodohan, bukan pula sekedar dugaan kuat, bahkan ini memberi faidah ilmu.
Maka lebih tidak pantas lagi bagi dai hizbiyyin seperti Muhammad Afifuddin (Pengasuh/Pengajar Pesantren al-Bayyinah Gresik)– yang terbongkar kebatilannya dengan rekaman di muhadhoroh umum tadi- untuk menamai para ikhwah tadi sebagai sufaha (orang-orang tolol).
Jawaban kelima: upaya meruntuhkan kabar orang tsiqoh terhadap hizbiyyin, dengan talbis TABAYYUN memang sudah menjadi kebiasaan para Ahlul Ahwa. Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺻﻮﻝ ﺍﻟﻔﺎﺳﺪﺓ ﻭﺍﻟﻤﻨﺎﻫﻀﺔ ﻟﻤﻨﻬﺞ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻷﺻﻞ ﺍﻟﻔﺎﺳﺪ ﺍﻟﻤﺴﻤﻰ ﻇﻠﻤﺎً ﻭﺯﻭﺭﺍً “ ﺑﺎﻟﺘﺜﺒﺖ ” ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﺪﻧﺎﻥ ﻋﺮﻋﻮﺭ ﺛﻢ ﺍﻟﻤﻐﺮﺍﻭﻱ ﺛﻢ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻤﺄﺭﺑﻲ ﻭﻫﻮ ﺃﺷﺪﻫﻢ ﺗﻠﺒﻴﺴﺎً ﻭﻣﻜﺮﺍً ﻭﺗﻄﺒﻴﻘﺎً ﻟﻬﺬﺍ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺟﻬﺔ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻃﻼﺑﻬﺎ ﻭﻟﺤﻤﺎﻳﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭﺍﻟﻀﻼﻝ . “) ﺍﻟﺘﺜﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ” / ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺭﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﻫﺎﺩﻱ ﺍﻟﻤﺪﺧﻠﻲ ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ / ﺹ 322 ).
“Dan termasuk dari prinsip-prinsip yang rusak dan menentang manhaj Salaf adalah: prinsip rusak yang dinamai secara zholim dan bohong dengan “Tatsabbut”. Dan itulah yang berjalan di atasnya ‘Adnan ‘Ar’ur, lalu Al Maghrowi, lalu Abul Hasan Al Ma’ribi, dan dia adalah orang yang paling keras talbis, makar, dan penerapan pokok ini di antara mereka, di dalam menghadapi ulama Sunnah dan thullabnya, dan untuk melindungi ahlul bathil dan ahludh dholal.” (“At Tatsabbut fisy Syari’ah” hal. 322/Majmu’ur Rudud).
Asy Syaikh Abu Ibrohim bin Sulthon Al ‘Adnani -hafizhahulloh- berkata tentang metode Al Quthbiyyah yang ketiga:
ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻌﺪﻧﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﻄﺒﻴﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ : ﻟَﻤَّﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﻠَﻤﻮﻥ ﺃﻥّ ﺧﻄﻄﻬﻢ ﻭﺃﻫﺪﺍﻓﻬﻢ ﻗﺪ ﺗﻨﻜﺸﻒ، ﻧﺎﺩﻭﺍ ﺑﻮﺳﻴﻠﺘﻬﻢ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ – ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻃﻠﻘﻮﻫﺎ ﻓﻲ ﺣﺎﺩﺛﺔ ﻛُﻨَﺮ –
ﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﻣﺂﺭﺑﻬﻢ، ﻭﻫﻲ : ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﺜﺒّﺖ . ﻓﺄﺻﺒﺤﻮﺍ ﻳﻜﺜﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺫﻛﺮﻫﺎ، ﻭﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﻟﻬﺎ ﺑﺎﻷﺩﻟّﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ، ﺣﺘﻰ ﺃﻭﻫﻤﻮﺍ ﺍﻟﺴﺎﻣﻌﻴﻦ ﻭﺍﻟﻘﺮّﺍﺀ ﺑﺄﻧّﻬﻢ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺘﺜﺒُّﺖ ﻭﺍﻟﺘﺒﻴُّﻦ، ﻓﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻣﻨﻬﻢ، ﻓﻼ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺗﺜﺒُّﺖ ﻭﺗﺒﻴُّﻦ، ﺑﺨﻼﻑ ﻏﻴﺮﻫﻢ . “) ﺍﻟﻘﻄﺒﻴﺔ ﻫﻲ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ” / ﻟﻪ ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ / ﺹ 116 ).
“Manakala mereka mengetahui bahwasanya garis-garis dan tujuan mereka telah tersingkap, mereka berseru dengan sarana yang ketiga –yang mereka sebutkan di dalam kejadian Kunar- demi merealisasikan tujuan-tujuan mereka, yaitu dakwah kepada tatsabbut. Maka jadilah mereka memperbanyak penyebutannya, dan mencari dalil untuk mendukungnya dengan dalil-dalil syar’iyyah, sampai mereka memberikan gambaran pada para pendengar dan pembaca bahwasanya mereka adalah ahli tatsabbut dan tabayyun. Maka berita yang datang dari mereka, tidak butuh kepada tatsabbut dan tabayyun, berbeda dengan yang lain.” (“Al Quthbiyyah” hal. 116)
Metode muhdats ini juga diambil oleh hizbiy terkenal Muhammad Al Mahdiy dalam kitabnya “Ma’alim Fil Jarh Wat Ta’dil ‘Indal Muhadditsin” (hal. 343), dia mengkritik Al Imam Al Wadi’iy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ dengan berkata: “Beliau tidak tatsabbut dalam penukilan…” (“Jinayatu ‘Abdirrohman Wa Hizbihi”/7/Abu Hatim Yusuf Al Jazairiy).
Begitu pula Mar’iyyah mempopulerkan syiar hizbiyyin ini: MENGHARUSKAN TABAYYUN TERHADAP KABAR DARI TSIQOH. Lihat dalam “Al Minzhorul Kasyif” (hal. 9/ Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ), “Jinayatu ‘Abdirrohman Wa Hizbihi” (hal. 7/Abu Hatim Yusuf Al Jazairiy), “Zajrul ‘Awi” (1/hal. 6 dst.), dan “Bayanud Dass Wat Talfiqot” (hal. 4-5/Abu Umamah Abdulloh Al Jahdariy ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ).
Termasuk ekor hizbiyyah mereka adalah Muhammad Afifuddin As Sidawiy yang mencerca orang membongkar kebatilannya -dengan rekaman muhadhoroh dirinya sendiri- tanpa mau tabayyun langsung kepadanya.
Al Imam Muqbil Al Wadi’i -rahimahulloh- pernah ditanya: “sebagian orang menolak ucapan kritikus dari kalangan ulama sunnah terhadap sebagian ahlul bida’ dengan alasan bahwasanya orang yang dikritik ini belum dikomentari oleh ulama yang lain. Dia berkata,”Di manakah fulan dan fulan, kenapa mereka tidak berbicara? Seandainya kritikan tadi benar niscaya mereka akan mengikutinya.” Maka apakah disyaratkan dalam komentar dan kritikan terhadap seseorang itu haruslah mayoritas dari ulama –atau semuanya- telah mengkritiknya juga? Terutama jika sang kritikus ini telah mengetahui berdasarkan bukti tentang ucapan si mubtadi’ ini, dari sela-sela muhadhoroh-muhadhoroh dan tulisan-tulisannya.”
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻧﻌﻢ ﻧﻌﻢ، ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻳﺎ ﺇﺧﻮﺍﻥ، ﻣﺎ ﻗﺮﺃ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﻤﺼﻄﻠﺢ، ﺃﻭ ﺃﻧﻬﻢ ﻗﺮﺅﻭﻩ ﻭﻳﻠﺒﺴﻮﻥ ! ﻧﻘﻮﻝ ﻟﻜﻢ ﺑﺄﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ : ﻫﺐ ﺃﻥ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻗﺎﻝ : ﺛﻘﺔ، ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﻌﻴﻦ ﻗﺎﻝ : ﻛﺬﺍﺏ، ﻓﻬﻞ ﻳﻀﺮﻩ ﻗﻮﻝ ﻳﺤﻴﻰ، ﻭﻗﺪ ﺧﺎﻟﻔﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ؟ ﻧﻌﻢ، ﻗﻮﻝ ﻳﺤﻴﻰ ﺟﺮﺡ ﻣﻔﺴﺮ، ﺍﻃﻠﻊ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻢ ﻳﻄﻠﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ، ﻓﻤﺎﺫﺍ؟ ﺩﻉ ﻋﻨﻚ ﻟﻮ ﺟﺮَّﺣﻪ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﻌﻴﻦ ﻭﺣﺪﻩ، ﻓﻌﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﻋﺎﻟﻢ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺼﺮ، ﻭﺃﺑﺮﺯ ﺍﻟﺒﺮﺍﻫﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺿﻼﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ، ﺃﻭ ﻳﻮﺳﻒ ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ، ﺃﻭ ﻣﻨﻬﺞ ﺍﻹﺧﻮﺍﻥ ﺍﻟﻤﻔﻠﺴﻴﻦ، ﻧﻘﺒﻞ ﻭﻳﺠﺐ ﻗﺒﻮﻟﻪ ، ﴿ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖٌ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓَﺘَﺒَﻴَّﻨُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒُﻮﺍ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺑِﺠَﻬَﺎﻟَﺔٍ ﻓَﺘُﺼْﺒِﺤُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻢْ ﻧَﺎﺩِﻣِﻴﻦَ﴾، ﻧﻌﻢ؛ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻧﺎ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻧﻘﺒﻞ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻔﻬﻮﻡ ﺍﻵﻳﺔ، ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻧﺎ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻧﻘﺒﻞ، ﻓﺄﻳﻦ ﺃﻧﺘﻢ ﻣﻦ ﺍﻵﻳﺔ؟ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻧﺎ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺑﻨﺒﺄ ﻧﻘﺒﻠﻪ، ﻭﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻧﺎ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﺑﻨﺒﺄ ﻧﺘﺒﻴﻦ ، ﻓﻤﺎﺫﺍ ﻳﺎ ﺇﺧﻮﺍﻥ؟ ﻓﺎﻟﻤﻬﻢ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻣﻠﺒﺴﻮﻥ، ﻣﺨﺎﻟﻔﻮﻥ ﻟﻌﻠﻤﺎﺋﻨﺎ ﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻴﻦ ﻭﻟﻌﻠﻤﺎﺋﻨﺎ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ، ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ، ﻭﺇﻧﻨﻲ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ، ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﻳﺜﻘﻮﻥ ﺑﻚ ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻤﻬﻮﺱ، ﻭﻻ ﺑﻜﻼﻣﻚ ﺍﻩ ـ
Beliau -rahimahulloh- menjawab,”Ya ya. Permasalahannya -wahai ikhwan- orang-orang itu tidak membaca mushtholah. Atau mereka itu membacanya dan membikin pengkaburan ! Kami katakan pada kalian dengan sesuatu yang lebih besar daripada ini: Anggaplah bahwasanya Ahmad bin Hanbal berkata,”Tsiqoh” sementara Yahya bin Ma’in berkata,”Kadzdzab (pendusta)”. Maka apakah membahayakan dia ucapan Yahya padahal telah diselisihi oleh Ahmad bin Hanbal? Tentu. Ucapan Yahya adalah kritikan yang terperinci. Beliau mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Ahmad bin Hanbal. Terus apa? Bayangkan jika Yahya bin Ma’in mengkritiknya sendirian. Maka berdasarkan ini jika seorang alim dari ulama zaman ini bangkit dan memaparkan bukti-bukti tentang kesesatan Muhammad Al Ghozali atau Yusuf Al Qordhowi atau manhajul Ikhwanil Muslimin, kita terima dan wajib untuk menerimanya . Alloh ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita maka carilah kejelasannya agar jangan sampai kalian menimpakan suatu kejelekan kepada suatu kaum dengan ketidaktahuan sehingga jadilah kalian menyesal atas apa yang kalian lakukan.” Ya. Jika datang kepada kita orang yang adil kita terima sebagaimana pemahaman dari ayat ini. Jika datang kepada kita orang yang adil kita terima. Di manakah kalian dari ayat ini? Yang ayat ini menunjukkan bahwasanya jika datang kepada kita orang yang adil dengan suatu berita kita terima? Dan jika datang kepada kita orang yang fasik kita cari dulu penjelasannya. Lalu apa wahai ikhwan? Yang penting, orang-orang itu adalah tukang bikin pengkaburan. Mereka menyelisihi ulama kita terdahulu dan yang belakangan. Alhamdulillah, aku memuji Alloh ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ bahwasanya masyarakat tidak mempercayaimu wahai orang linglung mereka tidak mempercayai ucapanmu.” (“Al Ajwibatun Nadiyyah”/Imam Al Wadi’i -rahimahulloh-)
Asy Syaikh Robi’ Al Madkholi -hafidhahulloh- berkata:
ﺩﻳﻨﻨﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻌﺪﻭﻝ، ﻣﻦ ﻗﻮﺍﻋﺪﻩ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻌﺪﻭﻝ، ﻓﺈﺫﺍ ﻧﻘﻞ ﻟﻚ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻛﻼﻣﺎً ﻓﺎﻷﺻﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺔ، ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﺗﺒﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ، ﻭﺣﺬﺭ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ، ﻓﺈﺫﺍ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ﻭﺟﺎﺀﻙ ﺑﺨﺒﺮ ﻻ ﺗﻜﺬﺑﻪ، ﺗَﺜَّﺒَﺖ؛ ﻷﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺍﺣﺘﻤﺎﻻً ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺻﺎﺩﻕ، ﺗَﺜَّﺒَﺖ ﻻ ﺑﺄﺱ، ﺃﻣﺎ ﺍﻵﻥ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺗﻠﻮ ﺍﻟﻌﺪﻝ، ﻭﺍﻟﻌﺪﻝ ﺗﻠﻮ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻳﻜﺘﺐ ﻭﻳﺸﻬﺪ ﻣﺎ ﻳُﻘﺒﻞ ﻛﻼﻣﻪ، ﻭﻳَﻨﻘﻞ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻀﺎﻝ ﺑﺎﻟﺤﺮﻭﻑ ﻣﺎ ﺗﻘﺒﻞ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ، ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﺣﺎﻗﺪ، ﻓﻬﺬﻩ ﻣﻦ ﺍﻷﺳﺎﻟﻴﺐ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭ ﺍﻟﻔﺘﻦ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﻗﺖ - ﻧﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ - ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻬﺎ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ، ﻭﻻ ﺍﻟﺮﻭﺍﻓﺾ، ﻭﻻ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻓﻲ ﺍﻷﺯﻣﺎﻥ ﺍﻟﻤﺎﺿﻴﺔ، ﻭﺟﺎﺀﻭﺍ ﻟﻸﻣﺔ ﺑﺄﺳﺎﻟﻴﺐ ﻭﻗﻮﺍﻋﺪ ﻭﻣﻨﺎﻫﺞ ﻭﻓﺘﻦ ﻭﻣﺸﺎﻛﻞ ﻭﺃﺳﺎﻟﻴﺐ؛ ﺇﺫﺍ ﺟﻤﻌﺘﻬﺎ – ﻭﺍﻟﻠﻪ – ﻣﺎ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺷﻲﺀ، ﺇﺫﺍ ﺟﻤﻌﺖ ﺃﺳﺎﻟﻴﺒﻬﻢ ﻭﻗﻮﺍﻋﺪﻫﻢ ﻻ ﻳُﺒﻘﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺷﻴﺌﺎً، ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻌﺪﻭﻝ ﻳﺮﻳﺪﻭﻥ ﺃﻥ ﻳﺴﻘﻄﻮﻧﻬﺎ ،
“Agama kita berdiri di atas berita orang-orang adil, di antara kaidah-kaidahnya adalah berita dari orang-orang adil . Maka jika seorang yang adil menukilkan kepadamu suatu perkataan, maka pada asalnya berita itu adalah shohih , dan wajib untuk engkau membangun hukum di atasnya . Dan Alloh telah memperingatkan dari berita orang fasik. Maka jika ada orang yang dikenal kefasikannya dan mendatangimu dengan suatu berita, jangan kau dustakan dia. Telitilah dulu karena ada kemungkinan bahwasanya si fasik ini jujur dalam berita tersebut. Tatsabbut nggak apa-apa. Adapun sekarang: adil disusul dengan adil, adil disusul dengan adil, menulis dan bersaksi ucapannya justru tidak diterima. Dia menukilkan ucapan orang yang sesat dengan hurufnya ternyata persaksiannya tidak diterima. Mereka justru berkata: haqid (dendam) . Ini adalah termasuk uslub-uslub (metode) ahlul bida’ wal fitan pada zaman ini –kita mohon pada Alloh keselamatan-yang tidak dikenal oleh khowarij ataupun rofidhoh ataupun ahlul bida’ pada masa-masa silam. Orang-orang itu mendatangi umat dengan metode, kaidah, manhaj, fitnah dan musykilah yang jika kau kumpulkan itu semua –demi Alloh- tak ada yang tersisa dari agama ini sedikitpun. Jika kau kumpulkan metode dan kaidah-kaidah mereka itu, mereka tidak menyisakan Islam ini sedikitpun. Di antaranya adalah berita orang-orang yang adil. Mereka ingin menggugurkannya … dst” (“Al Mauqifush Shahih”/ Syaikh Robi’ Al Madkkholi/hal. 22)
Asy Syaikh Muhammad Umar Bazimul -hafidhahulloh- dalam bantahannya terhadap syubuhat Abul Hasan Al Mishriy berkata: “Seyogyanya untuk dibedakan antara mengikuti ijtihad dalam suatu permasalahan ijtihadiyah, dengan mengikuti kabar dari seorang alim. Karena mengikutinya dalam permasalahan ini adalah termasuk dalam bab “Menerima berita orang tsiqoh” dan itu adalah wajib . Kecuali jika tampak kesalahannya. Maka tidak bisa di dalam kedudukan ini dikatakan,”Aku tidak diharuskan menerima ucapan orang alim ini.” Atau “aku tidak menerima ucapannya tentang si fulan sampai aku sendiri yang mendapati kesalahannya secara langsung.” Ini semua adalah penggunaan ungkapan yang bukan pada tempatnya. Maka jika ada orang yang telah engkau kenal, lalu datang kritikan yang terperinci terhadapnya dari seorang alim yang tsiqoh, pada asalnya ucapan si alim ini adalah diikuti ( [3] ). Dan jangan kau katakan,”Aku tidak mengenalnya, maka aku tidak mengambil kritikan yang terperinci ini sampai aku sendiri yang mendapati kesalahannya secara langsung.” Tidak bisa dikatakan seperti ini. Dan hal itu adalah keluar dari jalan salaf dalam permasalahan ini” (“Ibaroh Muuhimah”/Syaikh Muhammad Umar Bazimul -hafidhahulloh-/27)
Jawaban keenam: kebatilan para hizbiyyun yang menjadikan KEHARUSAN TABAYYUN sebagai senjata untuk meruntuhkan kabar tsiqoh, pada hakikatnya memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kebatilan mu’tazilah yang menjadikan KHOBAR AHAD LA YUFIDUL ‘ILM sebagai senjata untuk membatalkan kabar tsiqoh. Kedua kelompok Ahlul Ahwa ini sama-sama bersatu untuk menjadikan berita satu orang tsiqoh itu tidak teranggap. Hanya saja mu’tazilah menyatakan: “Jika orang yang tsiqoh itu didukung oleh para tsiqot yang lain sampai mencapai derajat mutawatir, maka baru boleh memberikan faidah ilmu.” Sedangkan para hizbiyyun pada penerapannya mereka tidak menganggap banyaknya tsiqot yang membawa berita itu memberikan faidah ilmu, sampai adanya tabayyun langsung ke pelakunya. Dan cukuplah kenyataan ini memberikan gambaran akan bahayanya kejahatan syubuhat hizbiyyun.
Jawaban Ketujuh: orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Alloh, setelah menelaah dengan cermat tafsir ayat tabayyun di atas, pahamlah dirinya bahwasanya pendalilan para hizbiyyun dengan memakai ayat tabayyun tersebut di atas pada hakikatnya menjadi bumerang untuk menghantam diri mereka sendiri. Demikianlah kebiasaan ahlul batil, dalil yang mereka pakai justru membantah kebatilan mereka sendiri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata: “Dan demikianlah ahlul bida’, hampir-hampir mereka itu tidak berdalil dengan suatu dalil syar’iy ataupun dalil aqliy, kecuali dalam keadaan dalil-dalil tadi ketika direnungkan justru menjadi argumentasi untuk menghantam mereka sendiri, bukan untuk mendukung mereka.” (“Majmu’ul Fatawa”/6/hal. 254).
Bab Tiga:
Bantahan Terhadap Pendalilan Dengan Kisah Umar dan Abu Musa
Adapun syubuhat mereka dengan tuntutan Umar terhadap Abu Musa ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ untuk mendatangkan bayyinah, maka jawaban kami adalah sebagai berikut:
Jawaban pertama: Telah lewat dalil dari Al Qur’an tentang bolehnya menerima berita orang tsiqoh tanpa tabayyun. Maka jika ucapan Umar di atas memang berbeda dengan ketentuan Al Qur’an, maka siapakah yang hendak didahulukan? Firman Alloh ataukah ucapan Umar?
Jawaban kedua: Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ beberapa kali menerima berita tsiqoh tanpa tabayyun. Di antaranya adalah:
Hadits ‘Aisyah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ :
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ : ﺩﺧﻠﺖ ﻫﻨﺪ ﺑﻨﺖ ﻋﺘﺒﺔ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺃﺑﻲ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺃﺑﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺭﺟﻞ ﺷﺤﻴﺢ ﻻ ﻳﻌﻄﻴﻨﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻨﻲ ﻭﻳﻜﻔﻲ ﺑﻨﻲ ﺇﻻ ﻣﺎ ﺃﺧﺬﺕ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻤﻪ ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺟﻨﺎﺡ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ( ﺧﺬﻱ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻚ ﻭﻳﻜﻔﻲ ﺑﻨﻴﻚ ( ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ( 2211 ) ﻭﻣﺴﻠﻢ ( 1714 )).
“Hind binti ‘Uqbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ seraya berkata: Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah pria yang pelit sekali, tidak memberiku nafkah yang mencukupi saya dan anak-anak saya, kecuali apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan perbuatan itu?” maka Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda: “Ambillah dari hartanya sebatas kadar yang baik yang mencukupimu dan mencukupi anak-anakmu.” (HR. Al Bukhoriy (2211) dan Muslim (1714)).
Hadits Ibnu ‘Abbas ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ :
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﺭﺩﻳﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺧﺸﻌﻢ ﻓﺠﻌﻞ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻭﺗﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺟﻌﻞ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺼﺮﻑ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺸﻖ ﺍﻵﺧﺮ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺞ ﺃﺩﺭﻛﺖ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺨﺎ ﻛﺒﻴﺮﺍ ﻻ ﻳﺜﺒﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺍﺣﻠﺔ ﺃﻓﺄﺣﺞ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺣﺠﺔ ﺍﻟﻮﺩﺍﻉ . ( ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ( 1513 ) ﻭﻣﺴﻠﻢ ( 1334 )).
“Dulu Al Fadhl diboncengkan oleh Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ , lalu datanglah wanita dari Khots’am. Maka mulailah Al Fadhl memandangnya, dan wanita itupun memandang Al Fadl. Dan mulailah Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ memalingkan wajah Al Fadhl ke arah lain. Maka wanita itu berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya kewajiban Alloh terhadap para hamba-Nya untuk berhaji mendapati ayah saya dalam keadaan sudah tua renta, tak bisa kokoh di atas kendaraan. Apakah boleh saya berhaji untuknya?” Beliau menjawab: “ Iya .” Dan yang demikian itu pada Hajjatul Wada’ (haji perpisahan).” (HR. Al Bukhoriy (1513) dan Muslim (1334)).
Hadits Aisyah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ :
ﺃﻥ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ : ﺃﺭﺳﻞ ﺃﺯﻭﺍﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﺎﺳﺘﺄﺫﻧﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻀﻄﺠﻊ ﻣﻌﻲ ﻓﻲ ﻣﺮﻃﻲ ﻓﺄﺫﻥ ﻟﻬﺎ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺃﺯﻭﺍﺟﻚ ﺃﺭﺳﻠﻨﻨﻲ ﺇﻟﻴﻚ ﻳﺴﺄﻟﻨﻚ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻓﻲ ﺍﺑﻨﺔ ﺃﺑﻲ ﻗﺤﺎﻓﺔ ﻭﺃﻧﺎ ﺳﺎﻛﺘﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻟﺴﺖ ﺗﺤﺒﻴﻦ ﻣﺎ ﺃﺣﺐ ؟ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺑﻠﻰ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﺣﺒﻲ ﻫﺬﻩ . ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ( ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ ( 2442 )).
“Para istri Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ mengutus Fathimah binti Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ untuk menemui Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ , maka dia meminta idzin untuk masuk dalam keadaan beliau berbaring bersamaku di selimutku. Maka beliau mengidzinkannya masuk. Maka fathimah berkata: “Wahai Rosululloh sesungguhnya para istri Anda mengutus saya kepada Anda, mereka meminta keadilan dalam hak putri Abu Quhafah (‘Aisyah).” Dan aku diam saja. Maka Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ menjawab: “Wahai anakku sayang, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?” Dia menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Maka cintailah wanita ini (‘Aisyah)” (HR. Muslim (2442)).
Hadits Abu Musa Al Asy’ariy ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ :
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺑﻠﻐﻨﺎ ﻣﺨﺮﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻧﺤﻦ ﺑﺎﻟﻴﻤﻦ ﻓﺨﺮﺟﻨﺎ ﻣﻬﺎﺟﺮﻳﻦ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﻧﺎ ﻭﺃﺧﻮﺍﻥ ﻟﻲ ﺃﻧﺎ ﺃﺻﻐﺮﻫﻢ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﺮﺩﺓ ﻭﺍﻵﺧﺮ ﺃﺑﻮ ﺭﻫﻢ ﺇﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺑﻀﻊ ﻭﺇﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺛﻼﺛﺔ ﻭﺧﻤﺴﻴﻦ ﺃﻭ ﺍﺛﻨﻴﻦ ﻭﺧﻤﺴﻴﻦ ﺭﺟﻼ ﻣﻦ ﻗﻮﻣﻲ ﻓﺮﻛﺒﻨﺎ ﺳﻔﻴﻨﺔ ﻓﺄﻟﻘﺘﻨﺎ ﺳﻔﻴﻨﺘﻨﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺠﺎﺷﻲ ﺑﺎﻟﺤﺒﺸﺔ ﻓﻮﺍﻓﻘﻨﺎ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻓﺄﻗﻤﻨﺎ ﻣﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﻗﺪﻣﻨﺎ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻓﻮﺍﻓﻘﻨﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﻴﻦ ﺍﻓﺘﺘﺢ ﺧﻴﺒﺮ ﻭﻛﺎﻥ ﺃﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻟﻨﺎ ﻳﻌﻨﻲ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﺳﺒﻘﻨﺎﻛﻢ ﺑﺎﻟﻬﺠﺮﺓ ﻭﺩﺧﻠﺖ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﺑﻨﺖ ﻋﻤﻴﺲ ﻭﻫﻲ ﻣﻤﻦ ﻗﺪﻡ ﻣﻌﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺣﻔﺼﺔ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﺍﺋﺮﺓ ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﺎﺟﺮﺕ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺠﺎﺷﻲ ﻓﻴﻤﻦ ﻫﺎﺟﺮ ﻓﺪﺧﻞ ﻋﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺣﻔﺼﺔ ﻭﺃﺳﻤﺎﺀ ﻋﻨﺪﻫﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺣﻴﻦ ﺭﺃﻯ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﻗﺎﻟﺖ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﺑﻨﺖ ﻋﻤﻴﺲ ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺍﻟﺤﺒﺸﻴﺔ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺒﺤﺮﻳﺔ ﻫﺬﻩ ﻗﺎﻟﺖ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﻧﻌﻢ ﻗﺎﻝ ﺳﺒﻘﻨﺎﻛﻢ ﺑﺎﻟﻬﺠﺮﺓ ﻓﻨﺤﻦ ﺃﺣﻖ ﺑﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﻐﻀﺒﺖ ﻭﻗﺎﻟﺖ ﻛﻼ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻛﻨﺘﻢ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻄﻌﻢ ﺟﺎﺋﻌﻜﻢ ﻭﻳﻌﻆ ﺟﺎﻫﻠﻜﻢ ﻭﻛﻨﺎ ﻓﻲ ﺩﺍﺭ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺃﺭﺽ ﺍﻟﺒﻌﺪﺍﺀ ﺍﻟﺒﻐﻀﺎﺀ ﺑﺎﻟﺤﺒﺸﺔ ﻭﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻓﻲ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺍﻳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﺃﻃﻌﻢ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻭﻻ ﺃﺷﺮﺏ ﺷﺮﺍﺑﺎ ﺣﺘﻰ ﺃﺫﻛﺮ ﻣﺎ ﻗﻠﺖ ﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻧﺤﻦ ﻛﻨﺎ ﻧﺆﺫﻯ ﻭﻧﺨﺎﻑ ﻭﺳﺄﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺳﺄﻟﻪ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﺃﻛﺬﺏ ﻭﻻ ﺃﺯﻳﻎ ﻭﻻ ﺃﺯﻳﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻠﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﻧﺒﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﻗﻠﺖ ﻟﻪ ﻗﺎﻟﺖ ﻗﻠﺖ ﻟﻪ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﻟﻴﺲ ﺑﺄﺣﻖ ﺑﻲ ﻣﻨﻜﻢ ﻭﻟﻪ ﻭﻷﺻﺤﺎﺑﻪ ﻫﺠﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻭﻟﻜﻢ ﺃﻧﺘﻢ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻫﺠﺮﺗﺎﻥ ﻗﺎﻟﺖ ﻓﻠﻘﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺑﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻳﺄﺗﻮﻧﻲ ﺃﺭﺳﺎﻻ ﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻲ ﻋﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺷﻲﺀ ﻫﻢ ﺑﻪ ﺃﻓﺮﺡ ﻭﻻ ﺃﻋﻈﻢ ﻓﻲ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻣﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ( ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ( 4232-4231 )).
“Telah sampai berita pada kami tentang keluarnya Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ , dan kami saat itu ada di Yaman. Maka kamipun keluar untuk berhijroh kepada beliau. Aku dan kedua saudaraku, aku yang paling kecil. Salah satunya adalah Abu Burdah, yang lain adalah Abu Ruhm. Kami dalam rombongan limapuluh dua atau limapuluh tiga atau limapuluh sekian orang dari kaumku. Kamipun menaiki kapal. Ternyata kapal kami melemparkan kami ke Najasyi di Habasyah. Maka kami berjumpa dengan Ja’far bin Abi Tholib. Kami tinggal bersamanya hingga kami semua tiba di Madinah, kami berjumpa dengan Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ketika Khoibar ditaklukkan. Ada sekelompok orang berkata pada kami –yaitu para pengendara kapal-: “Kami telah mendahului kalian dengan hijroh.” Asma binti ‘Umais masuk, -dan dirinya termasuk orang-orang yang hijroh ke Najasyi dan tiba bersama kami- mengunjungi Hafshoh istri Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -. Lalu masuklah Umar menemui Hafshoh dalam keadaan Asma ada di sisinya. Ketika Umar melihat Asma dirinya bertanya: “Siapakah wanita ini?” Hafshoh berkata: “Asma binti ‘Umais”. Umar bertanya: “Apakah dia itu habasyiyyah (yang ikut hijroh ke Habasyah)? Apakah dia itu pengendara kapal?” Asma menjawab: “Iya.” Umar berkata: “Kami telah mendahului kalian dengan hijroh, maka kami lebih berhak dengan Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ daripada kalian.” Maka marahlah Asma dan berkata: “Sama sekali tidak. Demi Alloh, kalian bersama Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ , beliau memberi makan orang yang kelaparan di antara kalian, menasihati orang yang bodoh di antara kalian, sementara kami di negri orang-orang yang jauh dan kami benci, di Habasyah. Yang demikian itu adalah di jalan Alloh dan jalan Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . Demi Alloh aku tak akan makan makanan dan tak akan minum minuman sampai saya berbicara kepada Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . dulu kami diganggu dan ditakut-takuti. Aku akan menyebutkan itu pada Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ dan menanyai beliau. Demi Alloh aku tak akan berdusta, ataupun menyeleweng, ataupun menambahi.”
Manakala Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ datang, berkatalah Asma: “Wahai Nabiyalloh, sesungguhnya Umar berkata demikian dan demikian.” Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ berkata: “Apa jawabanmu kepadanya?” Asma menjawab: “Saya menjawab demikian dan demikian.” Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda: “Dia tidaklah lebih berhak daripada kalian. Dia dan teman-temannya mendapatkan satu hijroh. Dan kalian pengendara kapal mendapatkan dua hijroh.” Asma berkata: “Sungguh aku melihat Abu Musa dan para pengendara kapal mendatangiku secara berkelompok-kelompok menanyaiku tentang hadits ini. Tiada sesuatupun di dunia yang lebih menggembirakan mereka dan lebih agung di dalam jiwa-jiwa mereka daripada sabda Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ kepada mereka.” Dst. (HR. Al Bukhoriy (4231-4232)).
Kesimpulannya adalah: Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ saat mendengar berita tsiqoh beliau menerimanya dan menjawab dan menghukumi sesuai dengan kandungan berita tadi, dan tidak mengharuskan tabayyun langsung ke orang yang dibicarakan.
Jika ada orang berkata: “Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ diperkuat dengan wahyu sehingga tak perlu tabayyun!”
Kita jawab: pada asalnya perbuatan Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ yang terkait dengan syariat adalah merupakan bagian dari syariat untuk umatnya juga. Al Imam Abu Bakr Ibnul ‘Arobiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﻣﺎ ﻋﻤﻞ ﺑﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺗﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺃﻣﺘﻪ ﻳﻌﻨﻲ ﻷﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﺍﻟﺨﺼﻮﺻﻴﺔ
“Dan apa yang dilakukan oleh Muhammad – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -, dilakukan juga oleh umatnya. Yaitu: karena pada asalnya adalah: tidak ada kekhususan.” (dinukil oleh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ dalam “Fathul Bari”/3/hal. 189/Bab Shufufushy Syibyan).
Adapun upaya menghalangi untuk mengikuti Nabi dengan alasan bahwasanya Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ diperkuat oleh wahyu, maka hal ini menjurus pada pengurangan sekian banyak syariat yang berlaku pada umat ini dengan alasan: “Amalan tadi hanya khusus untuk Nabi saja!” pengkhususan itu butuh pada dalil, dan tidak mungkin para hizbiyyun sanggup mendatangkan dalil yang mendukung pernyataan tadi.
Al Imam Ibnul Mundzir dan Al Imam Al Khoththobiy ﺭﺣﻤﻬﻤﺎ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﺍﻟﺨﺼﻮﺻﻴﻪ ﻻ ﺗﺜﺒﺖ ﺍﻻ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﻭﺍﻷﺻﻞ ﻋﺪﻣﻪ
“Khushushiyyah itu tidak tetap kecuali dengan dalil, sementara pada asalnya adalah: tiada pengkhususan.” (dinukil oleh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ dalam “Fathul Bari”/1/hal. 272/Babul Ma’).
Jika telah jelas yang demikian itu, maka kita katakan: Termasuk dari sunnah Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ adalah BOLEHNYA MENERIMA KHOBAR TSIQOH TANPA TABAYYUN.
Jika para hizbiyyun menganggap bahwasanya Umar ibnul Khoththob ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ MENGHARUSKAN TABAYYUN TERHADAP KABAR TSIQOH, maka kita katakan pada mereka sebagaimana ucapan Ibnu Umar ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ :
ﻓﺴﻨﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﺣﻖ ﺃﻥ ﺗﺘﺒﻊ ﻣﻦ ﺳﻨﺔ ﻓﻼﻥ ﺇﻥ ﻛﻨﺖ ﺻﺎﺩﻗﺎ ( ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ ( 1233 )).
“Maka sunnah Alloh dan sunnah Rosul-Nya ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ lebih berhak untuk diikuti daripada sunnah si fulan, jika engkau itu jujur.” (HR. Muslim (1233)).
Jawaban ketiga: para shohabat yang lain ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ juga mau menerima berita tsiqoh tanpa mengharuskan tabayyun. Di antaranya adalah:
Sikap Ibnu ‘Abbas ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ :
ﺳَﻌِﻴﺪُ ﺑْﻦُ ﺟُﺒَﻴْﺮٍ ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ ﻻِﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺇِﻥَّ ﻧَﻮْﻓًﺎ ﺍﻟْﺒِﻜَﺎﻟِﻰَّ ﻳَﺰْﻋُﻢُ ﺃَﻥَّ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ ﺑَﻨِﻰ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺁﺧَﺮُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻛَﺬَﺏَ ﻋَﺪُﻭُّ ﺍﻟﻠَّﻪِ
Sa’id bin Jubair -rahimahulloh- berkata,”Aku berkata kepada Ibnu Abbas t: “Sungguhnya Nauf Al Bikali menyangka bahwasanya Musa – yang bersama Khidhr- bukanlah Musa Bani Isroil, akan tetapi hanya dia itu Musa yang lain.” Maka beliau berkata,”Musuh Alloh itu bohong.” (HSR Al Bukhori/ 112 dan Muslim/ 6313)
Sikap Ibnu Umar ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ :
ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﻌﻤﺮ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻝ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺑﺎﻟﺒﺼﺮﺓ ﻣﻌﺒﺪ ﺍﻟﺠﻬﻨﻲ ﻓﺎﻧﻄﻠﻘﺖ ﺃﻧﺎ ﻭﺣﻤﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺤﻤﻴﺮﻱ ﺣﺎﺟﻴﻦ ﺃﻭ ﻣﻌﺘﻤﺮﻳﻦ ﻓﻘﻠﻨﺎ ﻟﻮ ﻟﻘﻴﻨﺎ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﺴﺄﻟﻨﺎﻩ ﻋﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻫﺆﻻﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻓﻮﻓﻖ ﻟﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺩﺍﺧﻼ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﺎﻛﺘﻨﻔﺘﻪ ﺃﻧﺎ ﻭﺻﺎﺣﺒﻲ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﻭﺍﻷﺧﺮ ﻋﻦ ﺷﻤﺎﻟﻪ ﻓﻈﻨﻨﺖ ﺃﻥ ﺻﺎﺣﺒﻲ ﺳﻴﻜﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺇﻟﻲ ﻓﻘﻠﺖ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺇﻧﻪ ﻗﺪ ﻇﻬﺮ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﻧﺎﺱ ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﺘﻘﻔﺮﻭﻥ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺫﻛﺮ ﻣﻦ ﺷﺄﻧﻬﻢ ﻭﺃﻧﻬﻢ ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﺃﻥ ﻻ ﻗﺪﺭ ﻭﺃﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﺃﻧﻒ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﺫﺍ ﻟﻘﻴﺖ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﻓﺄﺧﺒﺮﻫﻢ ﺃﻧﻲ ﺑﺮﻱﺀ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺃﻧﻬﻢ ﺑﺮﺁﺀ ﻣﻨﻲ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺤﻠﻒ ﺑﻪ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻟﻮ ﺃﻥ ﻷﺣﺪﻫﻢ ﻣﺜﻞ ﺃﺣﺪ ﺫﻫﺒﺎ ﻓﺄﻧﻔﻘﻪ ﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻘﺪﺭ
Yahya bin Ya’mar berkata: “Dulu yang pertama kali berbicara tentang taqdir di Bashroh adalah Ma’bad Al Juhaniy. Maka berangkatlah aku dan Humaid bin Abdirrohman Al Himyariy untuk berhaji atau ber’umroh. Kami berkata: “Andaikata kita berjumpa dengan salah seorang dari shohabat Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ untuk kita tanyai tentang apa yang dikatakan oleh orang-orang itu tentang taqdir.” Maka kami dipertemukan dengan Abdulloh bin Umar ibnul Khoththob saat masuk masjid. Maka aku dan sahabatku mengiringinya, yang satu di sebelah kanan, yang lain di sebelah kiri. Aku mengira bahwasanya sahabatku mewakilkan pembicaraan kepadaku. Kukatakan: “Wahai Abu Abdirrohman, sesungguhnya telah muncul dari arah wilayah kami sekelompok orang yang membaca Al Qur’an, memperdalam ilmu, -dan menyebutkan beberapa keadaan mereka- dan mereka menyatakan bahwasanya taqdir itu tidak ada, dan bahwasanya perkara ini baru.” Maka beliau menjawab: “Jika engkau berjumpa dengan mereka maka kabari mereka bahwasanya aku berlepas diri dari mereka, dan merekapun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang dengan-Nya Abdulloh bin Umar bersumpah, andaikata salah seorang dari mereka punya semisal gunung Uhud emas lalu dia menginfaqkannya, Alloh tak akan menerima darinya sampai dia beriman kepada taqdir.” (HR. Muslim (8)).
Jika para hizbiyyun menganggap bahwasanya perbuatan Umar ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ menyelisihi perbuatan para shohabat ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ini, maka ketahuilah bahwasanya perbuatan Umar bukanlah hujjah. Yang jadi hujjah adalah Al Qur’an dan As Sunnah serta Ijma’.
Syaikhul Islam ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺇﻥ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰ ﺣﺠﺔ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺨﺎﻟﻔﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﻻ ﻋﺮﻑ ﻧﺺ ﻳﺨﺎﻟﻔﻪ – ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ -: ﻭﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻋﺮﻑ ﺃﻧﻪ ﺧﺎﻟﻔﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﺤﺠﺔ ﺑﺎﻹﺗﻔﺎﻕ . ( ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ 1/ /ﺹ 284-283 ).
“Dan barangsiapa berkata dari kalangan ulama bahwasanya “perkataan shohabi adalah hujjah” maka dia mengucapkan itu hanyalah jika ucapan shohabi itu tidak diselisihi oleh Shohabat yang lain, dan tidak diketahui adanya nash yang menyelisihinya –sampai dengan ucapan beliau:- adapun jika diketahui bahwasanya ada shohabat yang menyelisihi ucapan shohabat tadi, maka perkataannya itu bukanlah hujjah, berdasarkan kesepakatan ulama.” (“Majmu’ul Fatawa”/1/hal. 283-284).
Jawaban keempat: Umar ibnul Khoththob ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ sendiri mau menerima berita tsiqoh tanpa tatsabbut. Misalnya adalah kisah pengambilan jizyah majusi.
ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ : ﻛﻨﺖ ﺟﺎﻟﺴﺎ ﻣﻊ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻭﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺃﻭﺱ ﻓﺤﺪﺛﻬﻤﺎ ﺑﺠﺎﻟﺔ ﺳﻨﺔ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﻋﺎﻡ ﺣﺞ ﻣﺼﻌﺐ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﻴﺮ ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﺒﺼﺮﺓ ﻋﻨﺪ ﺩﺭﺝ ﺯﻣﺰﻡ ﻗﺎﻝ ﻛﻨﺖ ﻛﺎﺗﺒﺎ ﻟﺠﺰﺀ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﻋﻢ ﺍﻷﺣﻨﻒ ﻓﺄﺗﺎﻧﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻗﺒﻞ ﻣﻮﺗﻪ ﺑﺴﻨﺔ ﻓﺮﻗﻮﺍ ﺑﻴﻦ ﻛﻞ ﺫﻱ ﻣﺤﺮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ ﺣﺘﻰ ﺷﻬﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺬﻫﺎ ﻣﻦ ﻣﺠﻮﺱ ﻫﺠﺮ
‘Amr bin Dinar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata: “Aku pernah duduk di bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus, lalu Bujalah menceritakan hadits pada keduanya pada tahun tujuh puluh, tahun hajinya Mush’ab ibnuz Zubair dengan memimpin ahlul Bashroh, di samping tangga Zamzam. Beliau berkata: “Dulu aku adalah juru tulis Juz’ bin Mu’awiyah, paman Al Ahnaf, lalu datanglah surat dari Umar ibnul Khoththob setahun sebelum wafatnya beliau. Isinya adalah: “Pisahkanlah di antara mahrom-mahrom dari majusi.” Sebelumnya Umar tidak mengambil jizyah dari Majusi sampai Abdurrohman bin Auf bersaksi bahwasanya Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (HR. Al Bukhoriy (3156)).
Contoh yang lain adalah: hadits Ibnu ‘Abbas ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ dalam kasus wabah di Syam:
… ﻓﺠﺎﺀ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺘﻐﻴﺒﺎ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﻋﻨﺪﻱ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﻋﻠﻤﺎ ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﻤﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﺑﺄﺭﺽ ﻓﻼ ﺗﻘﺪﻣﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺇﺫﺍ ﻭﻗﻊ ﺑﺄﺭﺽ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺑﻬﺎ ﻓﻼ ﺗﺨﺮﺟﻮﺍ ﻓﺮﺍﺭﺍ ﻣﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﺤﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻤﺮ ﺛﻢ ﺍﻧﺼﺮﻑ
“… lalu datanglah Abdurrohman bin ‘Auf, semula menghilang karena sedang mengurusi sebagian hajatnya, seraya berkata: “Sesungguhnya saya memiliki ilmu dalam masalah ini. Saya mendengar Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda: “Jika kalian mendengar wabah di suatu negri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya. Dan jika wabah tadi ada di negri yang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena lari darinya.” Maka Umar memuji Alloh kemudian berangkat pulang.” (HR. Al Bukhoriy (5729) dan Muslim (2219)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh dalam menjelaskan kisah penerimaan Umar hadits Abdurrohman bin ‘Auf rodhiyallohu ‘anhuma tentang tho’un berkata:
ﻭﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻭﻗﺒﻮﻟﻪ ﻭﺇﻳﺠﺎﺏ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺃﻭﺿﺢ ﻭﺃﻗﻮﻯ ﻣﺎ ﻧﺮﻯ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻵﺛﺎﺭ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﺑﻤﺤﻀﺮﻫﻢ ﻓﻲ ﺃﻣﺮ ﻗﺪ ﺃﺷﻜﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻞ ﻟﻌﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ( ﺃﻧﺖ ﻭﺍﺣﺪ ﻭﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻻ ﻳﺠﺐ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﺒﺮﻩ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺠﺐ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻜﺎﻓﺔ ) ﻣﺎ ﺃﻋﻈﻢ ﺿﻼﻝ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺑﻬﺬﺍ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻳﻘﻮﻝ : ﴿ﺇﻥ ﺟﺎﺀﻛﻢ ﻓﺎﺳﻖ ﺑﻨﺒﺄ ﻓﺘﺒﻴﻨﻮﺍ﴾ ﻭﻗﺮﺋﺖ ﴿ﻓﺘﺜﺒﺘﻮﺍ﴾ ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺑﻨﺒﺄ ﻳﺘﺜﺒﺖ ﻓﻲ ﺧﺒﺮﻩ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻔﺬ ﻻﺳﺘﻮﻯ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﻭﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻫﺬﺍ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ : ﴿ﺃﻡ ﻧﺠﻌﻞ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻛﺎﻟﻔﺠﺎﺭ﴾ “) ﺍﻟﺘﻤﻬﻴﺪ ” ﺝ 14 / ﺹ 347 )
“Dan di dalam hadits ini ada dalil penggunaan kabar satu orang, penerimaannya dan pengharusan amal dengannya. Dan ini adalah hadits yang paling jelas dan paling kuat yang kami lihat dari sisi atsar-atsar dalam menerima kabar satu orang. Hal itu dikarenakan pada saat itu kejadiannya di kalangan sekumpulan para shahabat dan di kehadiran mereka dalam suatu perkara yang membuahkan isykal bagi mereka. Maka Umar tidak berkata pada Abdurrohman bin ‘Auf “Engkau cuma satu orang. Dan satu orang itu kabarnya tidak wajib diterima. Yang wajib diterima hanyalah kabar keseluruhan orang”.
Alangkah besarnya kesesatan orang yang mengatakannya. Padahal Alloh ‘Azza Wajalla berfirman:
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖٌ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓَﺘَﺒَﻴَّﻨُﻮﺍ {
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian seorang fasiq dengan suatu berita, maka carilah kejelasan.” (QS Al Hujurot)
dibaca juga: ( ﻓﺘﺜﺒﺘﻮﺍ )
Maka jika ada seorang adil datang dengan suatu berita lalu ditatsabbuti dan tidak dilaksanakan, niscaya menjadi samalah antara orang fasiq dan orang adil. Dan ini menyelisihi Al Qur’an. Padahal Alloh ‘Azza wajalla berfirman:
﴿ ﺃﻡ ﻧﺠﻌﻞ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻛﺎﻟﻔﺠﺎﺭ ﴾
“Apakah Kami jadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang yang jahat?”
(“At Tamhid” 14/347).
Dan akan datang tambahan contoh-contoh penerimaan Umar berita tsiqoh tanpa harus tsabbut.
Jawaban keenam: bukanlah Umar menuntut Abu Musa mendatangkan bayyinah dikarenakan Umar meyakini HARUSNYA Tabayyun terhadap kabar tsiqoh. Hanya saja saat itu ada beberapa pegawai di dekat Umar, dan beliau ingin mendidik orang-orang di sampingnya itu untuk berhati-hati terhadap hadits Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﺩﻋﻰ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺑﻤﻔﺮﺩﻩ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﺣﺘﻰ ﻳﻨﻀﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ ﻭﻫﻮ ﺧﻄﺄ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻭﺟﻬﻞ ﺑﻤﺬﻫﺐ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﺪ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻃﺮﻗﻪ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻷﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ ﺃﻣﺎ ﺇﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﺗﻬﻤﻚ ﻭﻟﻜﻨﻲ ﺃﺭﺩﺕ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺘﺠﺮﺃ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﻠﺖ ﻭﻫﺬﻩ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻮﻃﺄ ﻋﻦ ﺭﺑﻴﻌﺔ ﻋﻦ ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺋﻬﻢ ﺃﻥ ﺃﺑﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﻓﺬﻛﺮ ﺍﻟﻘﺼﺔ ﻭﻓﻲ ﺁﺧﺮﻩ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﻷﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ ﺃﻣﺎ ﺇﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﺗﻬﻤﻚ ﻭﻟﻜﻨﻲ ﺧﺸﻴﺖ ﺃﻥ ﻳﺘﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﻴﻦ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺷﺮﺕ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺁﻧﻔﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﻷﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﻷﻣﻴﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭﻟﻜﻦ ﺃﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﺃﺳﺘﺜﺒﺖ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺃﺑﻲ ﺑﺮﺩﺓ ﺣﻴﻦ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻟﻌﻤﺮ ﻻ ﺗﻜﻦ ﻋﺬﺍﺑﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺳﻤﻌﺖ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺄﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﺃﺗﺜﺒﺖ . ﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ ﻓﻴﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﺘﺜﺒﺖ ﻓﻲ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻟﻤﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻬﻮ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻗﺪ ﻗﺒﻞ ﻋﻤﺮ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺑﻤﻔﺮﺩﻩ ﻓﻲ ﺗﻮﺭﻳﺚ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺩﻳﺔ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻭﺃﺧﺬ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻜﻨﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﺜﺒﺖ ﺇﺫﺍ ﻭﻗﻊ ﻟﻪ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺒﺮ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﻀﺮ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﻦ ﻗﺮﺏ ﻋﻬﺪﻩ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻓﺨﺸﻲ ﺃﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻳﺨﺘﻠﻖ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﻭﺍﻟﺮﻫﺒﺔ ﻃﻠﺒﺎ ﻟﻠﻤﺨﺮﺝ ﻣﻤﺎ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﻓﺄﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻳﻨﻜﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺄﺗﻲ ﺑﺎﻟﻤﺨﺮﺝ . “) ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ 11/” 30/ ).
“Dan berdalilkan dengan ini orang yang menyatakan bahwasanya berita orang yang adil tapi sendirian itu tidak diterima sampai bergabung dengannya orang lain, sebagaimana dalam persaksian. Ibnu Baththol berkata: “ini adalah perkataan yang salah dari orang yang mengucapkannya, dan tidak tahu madzhab Umar. Telah datang pada sebagian jalur bahwasanya Umar berkata pada Abu Musa: “Sesungguhnya aku tidak menuduhmu, tapi aku ingin manusia tidak bersikap lancang terhadap hadits dari Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .”
Kukatakan: tambahan ini ada di Muwaththo dari Robi’ah dari beberapa ulama mereka bahwasanya Abu Musa –dan menyebutkan kisah- dan di akhirnya: maka Umar berkata kepada Abu Musa: “Sesungguhnya aku tidak menuduhmu, tapi aku takut manusia asal bicara atas nama Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .”
Dan di dalam riwayat Ubaid bin Hunain yang barusan aku isyaratkan: pada Abu Musa: “Demi Alloh Sesungguhnya engkau benar-benar terpercaya terhadap hadits dari Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . Tapi aku ingin untuk tatsabbut. Dan seperti itu riwayat dari Abu Burdah ketika Ubai bin Ka’b berkata pada Umar: “Janganlah engkau menjadi siksaan terhadap para Shohabat Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .” Maka Umar menjawab: “Subhanalloh, aku hanyalah mendengar sesuatu lalu aku ingin mencari ketetapan.”
Ibnu Baththol berkata: ”Maka diambil dari kisah ini tatsabbut dalam berita satu orang yang bisa saja dia itu lupa dan sebagainya. Dan Umar telah menerima berita satu orang adil sendirian dalam masalah pewarisan wanita dari diyat suaminya, dan pengambilan jizyah dari majusi, dan kisah-kisah yang lain. Akan tetapi Umar itu biasa mencari ketetapan jika ada sesuatu yang mengharuskannya untuk bersikap demikian.”
Ibnu Abdil Barr berkata: “Bisa jadi hadir di sisi Umar orang yang belum lama masuk Islam sehingga beliau takut bahwasanya salah seorang dari mereka nantinya membikin-bikin hadits dari Rosululloh ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ dalam masalah roghbah (minat dan harapan kuat) dan rohbah (rasa takut) dalam rangka mencari jalan keluar dari masalah yang dia masuki. Maka Umar ingin mengajari mereka bahwasanya barangsiapa berbuat sedikit saja dari yang demikian itu harus diingkari sampai mendatangkan jalan keluar.” (“Fathul Bari”/11/hal. 30/Babut Taslim Wal Isti`dzan).
Bab Empat:
Bantahan Syubuhat “Orang Tsiqoh juga Bisa Salah”
Sebagian hizbiyyun saat ditanya: “Kenapa engkau mengharuskan tabayyun terhadap kabar tsiqoh?” dia menjawab: “Dia bisa keliru dalam menyampaikan berita.”
Maka jawaban kami adalah: memang benar bahwasanya manusia itu bisa keliru. Orang tsiqoh juga bisa salah dalam menyampaikan berita. Dan bukanlah definisi “orang tsiqoh” itu: orang yang tak pernah keliru, hanya saja dia itu adalah orang yang jujur, dan kebenaran beritanya itu jauh lebih dominan daripada kekeliruannya. Al Imam Adz Dzahabiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺣَﺪِّ ﺍﻟﺜﻘﺔِ : ﺃﻧَّﻪُ ﻻ ﻳَﻐﻠَﻂُ ﻭﻻ ﻳُﺨﻄِﺊ ، ﻓﻤﻦ ﺍﻟﺬﻱ ﻳَﺴﻠﻢُ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮُ ﺍﻟﻤﻌﺼﻮﻡِ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳُﻘَﺮُّ ﻋﻠﻰ ﺧﻄﺄ . “) ﺍﻟﻤﻮﻗﻈﺔ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ ﻣﺼﻄﻠﺢ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ” / ﺹ 17 )
“Bukanlah definisi orang tsiqoh itu adalah bahwasanya dirinya itu tak pernah keliru ataupun tak pernah salah.siapakah yang selamat dari yang demikian itu kecuali orang yang ma’shum yang tidak dibiarkan di atas kesalahan?” (“Al Muqizhoh”/hal. 17).
Maka jika orang itu lurus agamanya, dan kebenaran beritanya jauh lebih banyak daripada kekeliruannya, maka dia adalah tsiqoh. Adapun kekeliruannya yang jarang saat dibandingkan dengan kebenarannya, maka hukum itu dibangun di atas perkara yang dominan. Al Imam Ibnul Qoyyim ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata: “Hukum-hukum itu hanyalah untuk perkara yang dominan dan banyak, sementara perkara yang jarang itu dihukumi tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 374).
Maka jika tiada dalil yang menunjukkan kesalahan seorang tsiqoh dalam beritanya, maka pada asalnya adalah diterimanya beritanya, dan tidak boleh ditolak atau disalahkan tanpa hujjah. Al Qurthubiy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﺍﻷَﻭْﻟَﻰ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻐﻠﻂ ﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﺠﺎﺯﻡ ﺑﺎﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﻣﺎ ﺃﻣﻜﻦ . “) ﺍﻟﻤﻔﻬﻢ /15/” ﺹ 99 ).
“Yang lebih utama adalah: sang rowi yang adil dan bersikap pasti dalam riwayatnya, tidak boleh dirinya itu dianggap keliru selama masih memungkinkan.” (“Al Mufhim”/15/hal. 99).
Bab Lima:
Bukan Berarti Kita Dianjurkan Untuk Bermudah-mudah Menerima Berita
Seluruh penjelasan di atas bukanlah bermakna kita asal-asalan menerima berita, karena urusannya tidaklah ringan. Alloh ta’ala berfirman:
ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ ﺃُﻭﻟـﺌِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺴْﺆُﻭﻻً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro: 36).
Abdulloh bin Umar -semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku mendengar Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
« … ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺳْﻜَﻨَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ ﺭَﺩْﻏَﺔَ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﻝِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﻣِﻤَّﺎ ﻗَﺎﻝَ ».
“… dan barangsiapa berkata tentang seorang mukmin dengan suatu perkara yang tidak ada pada dirinya, maka Alloh akan menjadikan dia tinggal di dalam rodghotul khobal (perasan penduduk neraka) sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya.” (HR. Abu Dawud (3592) dan dishohihkan Imam Al Wadi’y -semoga Alloh merohmatinya- dalam “Ash Shohihul Musnad” (755)).
Hanya saja jika yang datang membawa berita adalah orang tsiqoh, maka pada asalnya berita adalah jujur dan benar, dan kita ‘tidak diwajibkan untuk tabayyun terhadapnya. Dan tidak ada yang memindahkan dari asal kecuali dengan dalil yang kuat. Walid bin Rosyid Su’aidan berkata:
ﻗﺮﺭ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ – ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ – ﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻘﻮﻝ : ( ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻳﻄﻠﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﻗﻞ ﻋﻦ ﺍﻷﺻﻞ ﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﺎﺑﺖ ﻋﻠﻴﻪ ) “) ﺗﺤﻘﻴﻖ ﺍﻟﻤﺄﻣﻮﻝ ﻓﻲ ﺿﺒﻂ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺍﻷﺻﻮﻝ ” / ﺹ 3 ).
“Para ulama ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ menetapkan kaidah yang berkata: “Dalil itu dituntut dari pihak yang memindahkan sesuatu dari asalnya, dan bukan dituntut dari pihak yang kokoh di atas asalnya.” (“Tahqiqul Ma’mul Fi Dhobth Qo’idatil Ushul”/hal. 3).
Adapun jika dalam suatu kasus terbukti dengan dalil yang Hukum ini berdasarkan lahiriyyahnya. Al Imam Asy Syafi’iy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ berkata:
ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻛﻠﻒ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻭﺍﻟﻔﻌﻞ . “) ﺍﻷﻡ ” 1/ 423/ )
“Dan hanyalah para hamba itu dibebani berhukum dengan lahiriyyah dari perkataan dan perbuatan.” (“Al Umm”/1/hal. 423).
Dan lahiriyyah dari berita orang tsiqoh adalah kebenaran (kesesuaian dengan kenyataan), maka kita terima berita tadi, sampai benar-benar ada hujjah yang menunjukkan bahwasanya dalam hal ini yang betul adalah demikian dan demikian.
Adapun barangsiapa setelah itu ingin memastikan kebenaran berita, maka hal itu bagus, tanpa mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syariah, dan tanpa mencela orang yang mencukupkan diri dengan apa yang dianggap cukup oleh syariah. kata Syaikhul Islam ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ : “Hanyalah yang diikuti dalam penetapan hukum-hukum Alloh adalah: Kitabulloh, sunnah Rosul-Nya ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ dan jalan As Sabiqunal Awwalun. Tidak boleh menetapkan hukum syar’iy tanpa ketiga prinsip ini, baik secara nash ataupun istimbath sama sekali.” (“Iqtidhoush Shirothil Mustaqim”/2/hal. 171).
kuat akan terjadinya kesalahan dari sang pembawa berita padahal dia itu tsiqoh –tapi tidak ma’shum- maka kewajiban kita adalah mengikuti apa yang lebih kuat dalilnya tersebut, tanpa menyalahkan kaidah yang tegak di atas Kitabulloh, sunnah Rosul-Nya ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ dan jalan As Salafush Sholih.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ، ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
Sumber :
https://ashhabulhadits.wordpress.com/2012/02/02/tabayyun-menurut-ahlus-sunnah/
Komentar
Posting Komentar