TENANG DAN KOKOH SERTA TIDAK TERGESA GESA DALAM BERFATWA
🌿 *Tenang dan kokoh serta tidak tergesa gesa dalam berfatwa*
Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam menyebutkan dalam hadits-nya bahwa
ketergesa-gesaan berasal dari setan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
التَّأَنِّي مِنَ اللهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Tidak tergesa-gesa/ketenangan datangnya dari Allâh, sedangkan
tergesa-gesa datangnya dari setan.
✏Ibnu Wahab berkata , saya mendengar imam malik Rohimahulloh
ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﻟﻌﺠﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﻧﻮﻉ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻬﻞ ﻭﺍﻟﺨﺮﻕ ."
"Tergesa-gesa berfatwa adalah bentuk kebodohan dan kedunguan"
📚i’lam al muwaqqiin 2/176.
✏Berkata Imam Malik
أنّه دَخل على شيخه ربيعة الرأي فوجده يبكي فقال له : ما يبكيك ، أمصيبة نزلت بك ؟ قال : لا ، و لكن استُفتي من لا علم له ، و وقع في الإسلام أمر عظيم ، و لَبعض من يُفتي هاهنا أحق بالسجن من السُرَّاق )
bahwa imam malik menemui syaikhnya Rabi’ah bin Abdurrahman, lalu beliau mendapatinya sedang menangis, Lalu orang itu berkata: “Apa yang membuatmu menangis? apakah ada musibah yang menimpamu?”
al-Imam Rabi’ah bin Abdurrahman berkata: , tidak sama sekali. Aku
menangis karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa,
sehingga muncullah perkara(kerusakan) yang besar di tengah agama Islam ini”. sebagian orang berfatwa disini, dan sebagian orang berfatwa
disini lebih pantas untuk dipenjara dibanding para pencuri.
📚Adab al mufti dan al mustafti linnawawi hal 85.
Dan sepantasnya terhadap orang yang dijadikan mufti adalah yang
diketahui dari sisi ilmunya dengan tazkiyah ulama untuknya, dan pujian
ulama terhadapnya, dan persaksian ulama akan kecukupannya.
قال الإمام مالك رحمه الله : ما أفتيت حتى شهِدَ لي سبعون أني أهلٌ لذلك ، و في روايةٍ : ( ما أفتيتُ حتى سألتُ من هو أعلم مني : هل يراني موضعاً لذلك ؟ ) ، و قال أيضاً : ( لا ينبغي لرجُلٍ أن يرى نفسَه أهلا لشيءٍ ، حتى يَسألَ من هو أعلم منه ) [ آداب الفتوى للنووي ص : 18 ] .
Imam malik rahimahullah berkata ,”Aku tidak berfatwa, hingga telah
bersaksi untukku 70 ulama bahwa aku ahli dalam hal itu.” Dalam riwayat
lain Imam Malik berkala,”Aku tidak berfatwa hingga aku bertanya kepada
siapa yang lebih alim dariku, apakah ia melihat aku layak?” Imam Malik menyampaikan,”Tidaklah pantas bagi seorang melihat bahwa dirinya ahli mengenai sesuatu, hingga bertanya kepada siapa yang lebih tahu darinya.”
📚Adab Al Fatwa wa Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 18.
Beerapa hal yang perlu diperhatikan dalam bab ini
1⃣Masalah pertama
Fatwa adalah kedudukan yang berbahaya, karena itulah orang yang
Memiliki wara’ adalah orang yang meninggalkan untuk berfatwa(karena menganggap belum pantas dan cukup akan keilmuannya) , karena takut masuk dalam keumuman firman Allooh
( قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ
فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَ حَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ ) [ يونس : 59 ] .
Katakanlah” terangkanlah padaku tentang rezki yang diturunkan allooh padamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram, dan sebagiannya
halal.katakanlah: Apakah allooh telah memberikan izin padamu atau kamu
mengada-ngada saja terhadap Allooh.
✏Berkata abul qosim az-zamakhsyari rohimahullooh
كفى بهذه الآية زاجرة زجراً بليغاً عن التجوُّز فيما يُسأل عنه من الأحكام ، و باعثةً على وجوب الاحتياط فيه ، و أن لا يقول أحد في شيءٍ جائزٍ أو غيرَ جائزٍ ؛ إلا بعد إيقانٍ و إتقانٍ ، و من لم يوقِن فليتَّق الله ، و ليصمِت ، و إلا فهو مفترٍ على الله
Cukuplah ayat ini sebagai larangan dengan larangan yang keras dari
melewati batas pada apa yang ditanya darinya berupa hukum hukum, dan
ayat ini sebagai pendorong untuk wajib berhati hati padanya dan tidak berkata pada sesuatu ini boleh dan tidak boleh kecuali setelah ia yakin dan sempurna(akan pengetahuannya akan sesuatu tersebut), dan
siapa yang tidak yakin maka hendaknya ia bertakwa kepada Allooh dan hendaknya ia diam, dan jika tidak maka ia mengada-ngada terhadap
Allooh.
📚Al kassaf 2/242.
Sikap para salaf yang tawadhu takkala ditanya akan suatu permasalahan,
dan khawatir jika terjatuh dalam kesalahan.
✏Berkata Ibnu Abi Laila,
لقد أدركت عشرين ومائة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من الأنصار إن كان أحدهم ليسأل عن
المسألة فيردها إلى غيره فيرد هذا إلى هذا وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول وإن كان أحدهم ليقول في شيء وانه ليرتعد
“Sungguh aku telah bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kaum Anshor, sungguh ada salah seorang dari mereka ditanya tentang satu permasalahan maka iapun melemparkannya kepada
yang lainnya, maka yang ini melemparkan kepada yang itu, dan yang itu
menyerahkannya kepada yang ini hingga kembalilah permasalahan tersebut
kepada orang yang pertama tadi, dan sungguh salah seorang dari mereka
berkata tentang sesuatu dan ia dalam keadaan gemetar”
📚Tarikh Bagdad
13/412, Tarikh Ad-Dimasyq 36/87 dari Sufyan Ibnu Uyainah ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku ‘Ato’ bin As-Saib dari Ibni Abi Laila….”.
✏Beliau juga berkata,
أدركت عشرين ومائة من الأنصار من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ما منهم من أحد يحدث إلا ود أن أخاه كفاه إياه ولا يستفتى عن شيء إلا ود أن أخاه كفاه الفتوى
“Aku bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak seorangpun dari mereka yang berbicara kecuali ia berharap saudaranya telah mencukupkan perkataannya (sehingga ia tidak perlu lagi berbicara) dan tidak seorangpun dari mereka yang berfatwa
tentang suatu perkara kecuali ia berharap agar saudaranya telah
mencukupi fatwanya (sehingga ia tidak perlu lagi berfatwa)”
📚 Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/433 no 800.
✏Berkata Ibnu Kholdah kepada Robi’ah,
يا ربيعة إياك أن تفتي الناس فإذا جاءك الرجل يسألك فلا تكن همتك أن تخرجه مما وقع فيه ولتكن همتك أن تتخلص مما سألك عنه
“Wahai Robi’ah waspadalah engkau dari memberi fatwa kepada manusia,
maka jika datang kepadamu seseorang yang bertanya kepadamu maka
janganlah tujuanmu adalah untuk menyelematkan dia (sipenanya) dari apa
yang sedang ia alami, namun jadikanlah tujuanmu adalah agar engkau bisa selamat dari pertanyaannya”
📚 Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 823
2⃣Masalah kedua:
Seorang mufti tidak tergesa gesa dan bermudah-mudahan dalam memberikan fatwa.
✏Berkata ibnu hamdan al hanbali rohimahullooh “
ويحرم التساهل في الفتوى واستفتاء من عرف ذلك
Haram bermudah-mudahan dalam berfatwa dan (haram pula) meminta fatwa terhadap orang yang dikenal mudah dalam memberi fatwa tersebut.
Untuk mengetahui seseorang bermudah-mudan dalam berfatwa ialah:
إما لتسارعه قبل تمام النظر والفكر "
Tergesa-gesa dalam memberi fatwa sebelum sempurna analisa dan pemahamannya
ولظنه أن الإسراع براعة وتركة عجز ونقص
Dan anggapannya bahwa cepat memberi fatwa itu sebagai sebuah kehebatan sementara lambat berfatwa dianggap sebagai kelemahan dan
kekurangan."
فإن سبقت معرفته لما سئل عنه قبل السؤال فأجاب سريعا جاز
"jika telah diketahui jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan
kepadanya sebelum itu, lantas ia segera menjawabnya, maka hal itu
boleh saja."
📚lihat kitab Shifat al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti hlm.31
karangan ibnu Hamdan al-Harrani al-Hambali, dan aadab al fatwa wal
mufti wal mustaf’ti 1/38.
✏Berkata imam ibnu sholah rohimahullooh
لأن يُبطئ و لا يخطئ , أجمل به من أن يَعْجَلَ فيضلَّ و يَضِلَّ
lambatnya seorang Mufti (tidak tergesa-gesa) akan tetapi tidak salah dalam fatwanya itu lebih indah daripada ia tergesa-gesa, yang akhirnya ia sesat dan menyesatkan.
📚fatawa ibnu ash-sholah 1/46, dan lihat adab al mufti dan al mus’tafti 1/111.
3⃣Masalah ketiga ;
Mereka para salafus-sholih berjalan diatas manhaj akan peringatan
mencari cari keringanan- keringanan dalam fatwa, dan mereka menganggap
itu sebagai kerusakan agama.
✏Berkata imam an-nawawi rohimahullah
لو جاز اتّباع أي مذهب شاء لأفضى إلى أن يلتقط رُخَص المذاهب متبعاً
لهواه ، و يتخير بين التحليل ، و التحريم ، و الوجوب ، و الجواز ، و ذلك يؤدي إلى الانحلال من ربقة التكليف ) .
.
Seandainya boleh mengikuti madzhab apapun yang ia inginkan, maka ini
akan mengantar dia mengambil keringanan –keringanan madzhab karena mengikuti hawa nafsunya, dan dia akan memilih antara penghalalan dan
pengharaman, antara wajib dan boleh, dan demikian ini akan
mengantarkannya untuk lepasnya ia dari kesusahan dalam pembebanan
syariaat.
📚Al-muhadzdzab syarh al-
majmu 1/5.
✏ imam asy-syatiby rohimahullooh menyebutkan tentang mencari-cari
keringanan keringanan madzhab dari apa yang mudahnya tanpa bersandar pada dalil yang syar’i dan meninggalkan dari apa yang susah atasnya , maka telah diriwayatkan dari ibnu hazm hikayat akan ijma(kesepakatan
ulama).
أنّ ذلك فِسقٌ لا يَحِلّ
bahwa itu adalah suatu kefasikan dan
tidak halal.
📚Al muwafaqaat 4/74.
Nasihat bagi penuntut ilmu tidak tergesa-gesa dalam memberikan fatwa.
✏Berkata al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
وأنصح طالب العلم أيضا ألاّ يتسرّع في الحكم على الشّيء، لأن بعض طلبة العلم المبتدئين تجده يتسرع في الإفتاء وفي الأحكام. وربما يخطىء العلماء الكبار وهو دونهم بكثير حتى إن بعض الناس يقول:
ناظرت شخصا من طلبة العلم المبتدئين فقلتُ له: إن هذا قول الإمام أحمد بن حنبل. فقال: .وما الإمام أحمد بن حنبل، الإمام أحمد بن حنبل رجل ونحن رجالـ سبحان اللّٰه!! صحيح أن الإمام أحمد رجل وأنت رجل، فأنتما مستويان في الذكورة، أما في العلم فبينكما فرق عظيم، وليس كل رجل رجلاً بالنسبة
للعلم.
وأقول: إن على طالب العلم أن يكون متأدّبا باالتواضع وعدم الإعجاب بالنفس وأن يعرف قدر أنفسهم.
Dan juga saya nasihatkan kepada penuntut ilmu untuk tidak tergesa-gesa
dalam menghukumi sesuatu, karena engkau dapati sebagian penuntut ilmu pemula tergesa-gesa dalam berfatwa dan berhukum dengan sesuatu. Bahkan terkadang ia berani menyalahkan ulama kibar, padahal ia dibawah mereka sangat jauh. Sampai-sampai sebagian orang berkata: “Aku pernah berdiskusi dengan seorang penuntut ilmu yang pemula, lalu aku katakan kepadanya, “Ini merupakan ucapan (pendapat) al-Imam Ahmad bin Hanbal”
Namun ia malah mengatakan, “Memangnya kenapa dengan al-Imam Ahmad??!
Al-Imam Ahmad bin Hanbal seorang lelaki, kami pun seorang lelaki”.
Subhanallaah!! Benar adanya bahwa al-Imam Ahmad adalah lelaki, kamupun juga lelaki, memang kalian berdua sama dalam hal jenis kelamin, adapun dari sisi ilmu maka tentu antara kalian berdua terdapat perbedaan yang sangat jauh, dan tidak setiap orang bisa dikatakan “Lelaki” dalam hal
ilmu. Dan saya katakan: Sesungguhnya wajib atas penuntut ilmu untuk beradab dengan sikap tawadhu’, tidak terkagum-kagum dengan dirinya
sendiri, dan hendaknya dia mengetahui kadar dirinya.
📚 Kitabul ‘Ilmi,
hlm. 119.
✏Dan juga asy-Syaikh Al Utsaimin Rohimahulloh:
"ينبغي لطالب العلم أن لا يستعجل فيه، كذلك التدريس والفتوى والحرص على الظهور قبل الضبط. وكنا نرى من بعض الأقران والزملاء من يحرص على أن يفتي بمجرد ما يقرأ مسألة ليبرز، فكان بعض مشايخنا رحمة الله عليهم يقول
له:لا تستعجل، واترك الفتوى في زمانك لمن هو أهل لها، فحريٌ بك إن شاء الله إن وضع الله لك قبولاً في الفتوى أن يرجع الناس إليك، وأن لا يزاحمك الغير كما لم تزاحم من هو أهلٌ للفتوى وأحق بها منك، انتظر وأتقن واضبط، ثم بعد ذلك تفرَّغ للتدريس والتعليم. وهذا مما أحببت أن أنبه إليه ،...، فبعض طلاب العلم -أصلحهم الله- بمجرد
ما يقرأ كتاب الطهارة أو كتاب الصلاة أخرج المذكرة وعلَّق عليها، وأضاف ونقَّح، وزاد! فهذا كله من الآفات التي ينبغي لطالب العلم أن يتجنبها، وأن يحفظ حقوق أهل العلم، لا يختص هذا بعالم، إنما يشمل كل أهل العلم المتقدمين والمتأخرين. وينبغي للإنسان أن يكون حريصاً على إرادة وجه الله لأن العلم فيه فتنة والشيطان حريص. ومما ذكره العلماء: أن الدِّين يُفسِده نصف فقيه وعابد جاهل؛فنصف العالم عنده علم، لكنه لم يكتمل علمه، فيُلفِّق، فهو ما بين الهلاك والنجاة، فتارةً يأخذ قولاً صحيحاً فيُعجب الناس من صحته وصوابه، ثم يوردهم المهالك، فإذا قال لهم أحد: إنه أخطأ في هذه المسألة، قالوا: لا، قد أصاب في غيرها فهو من أهل العلم. ولذلك
ينبغي لطالب العلم أن لا يستعجل، ونصف العالم ونصف الفقيه يقع في أثناء الطلب، ولذلك كان من الحِكم المشهورة: (أول العلم طفرةٌ وهزة، وآخره خشية وانكسار). أول العلم فيه غرور، فإذا ثبَّت الله قدم صاحبه ومشى فيه حتى أتمَّه، وحرص على أنه لا يخرج ولا يكتب ولا يتصدَّر للناس إلا على أرضٍ ثابتة، وبيِّنة من ربه"
sepantasnya seorang penuntut ilmu tidak tergesa gesa padanya , seperti mengajar , dan berfatwa ,dan semangat untuk tampak (dipublik) sebelum ia betul betul seksama dan mahir dalam perkara tersebut.
Dan kami melihat dari sebagian teman yang sepadan, dan sahabat dari
semangatnya untuk berfatwa sekedar apa yang ia baca pada satu masalah ,supaya ia lebih menonjol.
Dulu sebahagian dari Syaikh Syaikh kami Rohimahumulloh berkata padanya: Jangan kamu tergesa-gesa , dan tinggalkan fatwa di zaman kamu pada orang yang ahli dalam berfatwa.
Dan itu lebih utama bagi kamu in saya Allloh, jika Allooh meletakkan
(menjadikan) kamu diterima dalam berfatwa , maka manusia akan kembali padamu, dan selainnya tidak ada yang menyaingimu dalam berfatwa, dan kamu yang lebih berhak dengan fatwa tersebut, Tunggulah,dan lancarkanlah,dan lakukanlah suatu perkara dengan saksama dan betul betul teliti, Kemudian setelah itu , luangkan waktu untuk mengajar dan memberi ta'lim (pengajaran).Dan ini di antara perkara yang saya senangi untuk saya memberikan
tanbih(peringatan atasnya), semoga Allooh memperbaiki keadaan mereka. Hanya dengan sekedar membaca kitab thaharah, atau kitab sholat, makavia mengeluarkan Buku catatan, dan berkomentar atasnya, dan menambahkan, membetulkan,
Maka seluruhnya ini adalah kerusakan ,yang sepantasnya penuntut ilmu
menjauhinya, dan menjaga hak hak para ulama , dan ini tidak terkhusus
pada seorang alim saja, tapi mencakup seluruh para ulama yang
terdahulu maupun sekarang.
Dan sepantasnya seseorang Bersemangat untuk menginginkan wajah Allloh, Karena ilmu itu di dalamnya ada fitnah, dan syaitan sangat semangat.
Dan sebagian dari ulama menyebutkan bahwasanya agama itu merusak
setengah dari orang faqihnya, dan ahli ibadah dan orang yang jahil.
Setengahnya dari orang yang alim , disisinya ada ilmu,tapi ia ilmunya
belum sempurna, maka ia pun menghiasi dirinya dengan mengada
Ngada,atau kebohongan, maka ia pun di antara kebinasaan dan
keselamatan. Dan kadang ia mengambil suatu perkataan yang shohih, maka manusia pun
terkagum akan kesahihan dan kebenarannya, kemudian kebinasaan
kebinasaan mendatangi mereka,.
Jika salah seorang berkata pada mereka, sungguh ia salah pada
permasalahan ini. Maka mereka pun mengatakan : tidak , kadang ia benar
pada selainnya, dan dia adalah dari ahli ilmi.
Karena demikianlah, sepantasnya untuk seorang penuntut ilmu, untuk tidak tergesa gesa,
Dan setengah Orang alim dan orang faqih,itu akan terjatuh di pertengahannya dalam menuntut ilmu,
Karena itulah dari hikmah yang masyhur
"Awalnya ilmu itu adalah lompatan dan goncangan, dan akhirnya adalah
rasa takut dan ketundukan."
Awalnya ilmu di dalamnya ada tipu daya, jika Allooh kokohkan kaki
pemiliknya, dan ia berjalan sampai ia menyempurnakannya, dan ia semangat untuk tidak keluar dan menulis dan nampak pada manusia
kecuali di atas bumi yang sudah kokoh dan diatas penjelasan(ilmu)
dari robbnya.
📚asy syarh mumti' 9/25.
Dan para ulama memperingati para penuntut ilmu untuk tidak menjadi ummu nadamah dan abu syibrin.
✏Berkata abu Ishaq Al qayruwaany :
: قال بعض الحكماء: إيَّاك والعَجَلَة ؛ فإنَّ العرب كانت تكنِّيها أمَّ الندامة ؛ لأن صاحبها يقول قبل أن يعلم، ويجيب قبل أن يفهم، ويعزم قبل أن يفكِّر، ويقطع قبل أن يقدِّر، ويحمد قبل أن يجرِّب، ويذمُّ قبل أن يخبر، ولن يصحب هذه الصِّفة أحدٌ إلا صحب النَّدامة، واعتزل السَّلامة.
berkata sebagian ahli hikmah. Berhati hati kalian dari tergesa gesa, sebab orang orang Arab
memberikan julukan pada ketergesa-gesaan dengan UMMU ANNADAMAH.
Sebab orang yang tergesa gesa akan berucap sebelum ia mengilmui, dan
akan menjawab sebelum ia memahami, dan akan bertekad sebelum ia
memikirkan, dan akan memutuskan sebelum ia memperkirakan, dan akan
memuji sebelum ia menguji, dan akan mencela sebelum ia diberitahukan ,
Dan tidaklah seseorang bersama dengan sifat tersebut kecuali ia
bersama penyesalan dan menjauhkan diri dari keselamatan.
📚zahru Al adaab wa tsamaru Al bab 4/942.
✏berkata asy syaikh Al allamah bakr abu Zaid Rohimahulloh
احذر ولا تكن ابا شبر، وقد حكي بأن العلم ثلاثة أشبار من دخل في الشبر الأول تكبر! ومن دخل في الشبر الثانى تواضع!
ومن دخل في الشبر الثالث علم أنه ما يعلم!
Waspadalah jangan kamu menjadi abu syibrin, dan sungguh telah di
hikayatkan bahwa
“Ilmu itu ada tiga syibrin (jengkal),
📌barangsiapa yang masuk jengkal pertama maka ia menjadi sombong,
📌 siapa saja yang masuk jengkal kedua dia menjadi tawadhu’ (rendah hati),
➖dan siapa saja yang masuk jengkal ketiga maka dia menyadari bahwa
dirinya belum mengetahui apa-apa.”
📚Hilyah Tholibil ‘Ilmi hal. 79
Jadi Abu Syibrin" adalah orang pemula yang baru belajar sejengkal
(setahap) ilmu lalu meninggalkan sejengkal(tahapan) berikutnya, kemudian tergesa gesa untuk keluar dan ingin tampak di publik, karena menyangka dirinya telah berilmu dan merasa bangga dengan ilmu yang di miliki, kemudian ia berdebat dan mendebat orang yang ilmunya lebih rendah darinya ,dan menuduh siapa saja yang menyelisihinya maka
dia itu orang yang bodoh, dan berfatwa seakan akan ia ulama besar, dan
meninggalkan untuk bertanya pada orang yang ahlinya untuk berfatwa
dari kalangan ulama .
Dan hal ini kita tanyakan pada pada ulama atau masyaikh di yaman:
ابو حنان السندكاني: السلام عليكم ورحمه الله وبركاته
احسن الله اليك يا شيخنا
1⃣ هل يقال هذا من الفتوى مثلا ،ارسل بعض السائلين إلي أحدنا من طلبة العلم الأسئلة بطريق واتساب فأجاب بعضها أو كلها سواء كانت اجابته بالصوت أو الكتابة، وسواء كانت إجابته خالية من اقوال أهل العلم عن من يقول ذلك كأنها من رأسه أو إجابته بنقل اقوال أهل العلم وسلف الأمة مع ترجيحات من أهل العلم، نريد التوضيح حتى لا يتسرع ولا يتصدر ولا يتقدم أحدنا بالفتوى مع وجود العلماء من مشائخنا فى اليمن أو غيرها ؟؟
Soal yang pertama : Apakah dikatakan ini dari fatwa, misalkan sebagian
orang yang bertanya mengirim pertanyaan kepada salah seorang dari kami penuntut ilmu dengan jalan watshab, maka ia menjawabnya sebagian atau seluruhnya, sama saja jawabannya dengan suara atau tulisan, sama saja jawaban kosong dari perkataan ahli ilmi dari siapa yang mengatakan
itu, seakan akan jawaban itu dari kepalanya atau jawaban dengan
menukil perkataan ahli ilmi dan salafnya ummah bersama dengan tarjihat
(sisi dikuatkan pendapat tersebut) dari kalangan ahli ilmi, kami ingin
penjelasan agar salah seorang kami tidak tergesa-gesa, dan tidak
menampakkan dan tidak mengkedepankan fatwa bersama dengan adanya ulama dari para syaikh kita di yaman dan selainnya?
2⃣ ماذا ينبغي لنا من طلاب العلم يا شيخ ،اذا سألنا واحد من المسألة
المتعلقة بالدين، فعرفنا الجواب بالإيقان وإلإتقان بعد تمام النظر والفكر،بنقل اقوال اهل العلم الموثوقين بعلمهم يعنى الجواب بالكتابة ثم أرسلناه فى مجموعتنا، وهل يجوز لنا فى مثل هذا الحال ؟؟
Soal yang kedua : apa yang sepantasnya bagi kami sebagai penuntut
ilmu ya syaikh, jika seseorang bertanya pada kami tentang masalah yang berkaitan dengan agama, dan kami mengetahui jawaban dengan yakin, dan setelah
sempurna analisis dan pemahaman dengan menukilkan pendapat
ulama yang terpecaya akan ilmunya yaitu jawaban dengan tulisan,
kemudian kami mengirimnya ke majmuah kamu, apakah boleh bagi kami pada keadaan seperti ini??
[23/9 9:25 AM] اجابة الفقيه المفضال الشيخ حسن بالشعيب حفظه الله
1, سمِّها ما شئت فتوى أو إجابة فالشأن كل الشأن ألّا يقول على الله إلّا بعلم .
2, نعم يجوز ما دام ناقلًا عن أهل العلم الموثوق بعلمهم .
✏Jawaban asy-syaikh al faqih hasan basy-syuaib hafizhahullooh :
1⃣Jawaban untuk soal pertama :
namakanlah apa yang kamu inginkan fatwa
atau ijabah(jawaban), maka yang terpenting dari semua yang terpenting
adalah jangan ia berucap atas nama Allooh kecuali dengan ilmu.
2⃣Jawaban untuk soal yang kedua : iya boleh, selama ia menukil dari
ahli ilmi yang dipercaya ilmunya.
✍🏻Disusun oleh:
Abu Hanan As Suhaily Utsman As Sandakany
14 Muharram 1440 - 24 September 2018
🌾 *من مجموعة نصيحة للنساء* 🌾
Ikuti NashihatuLinnisa' di TELEGRAM
https://t.me/Nashihatulinnisa
Komentar
Posting Komentar