BOLEH KAH SEORANG ISTRI MENTALAQ SUAMI NYA ?
*BOLEH KAH SEORANG ISTRI MENTALAQ SUAMI NYA?*
Pertanyaan: bolehkah seorang istri mentalak suaminya?
Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta’ala semata:
Wanita tidak berhak mentalak (menceraikan) suaminya, tapi wanita berhak meminta khulu’ (pemisahan diri dari suaminya) kepada hakim, dengan pertimbangan-pertimbangan yang terpandang secara syariat.
Yang demikian itu dikarenakan talak itu adalah hak lelaki, bukan hak istri. Yang Allah ta’ala ajak untuk berbicara tentang talak adalah suami, bukan istri. Allah ta’ala berfirman:
﴿يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن﴾ [الأحزاب : 49 ]
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka ...”
Dan Allah سبحانه berfirman:
﴿وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف﴾ [ البقرة : 231 ].
“Apabila kalian mentalak isteri-isteri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula).”
Dan inilah yang dikenal dari ucapan para fuqoha dari berbagai madzhab.
Al Mawardiy dari kalangan Syafi’iyyah berkata: “Dan talak itu tidak sah kecuali dari suami, dan tidak terjadi kecuali terhadap seorang istri. Maka suami itu dikhususkan dengan hak talak sekalipun pasangan suami istri tersebut bersekutu di dalam akad perkawinan. Dan ini adalah salah satu penafsiran pada firman Allah ta’ala:
﴿وللرجال عليهن درجة﴾ [ البقرة : ]
“Dan para lelaki punya derajat di atas para wanita.”
Yaitu: lelaki berkuasa mentalak dan hal itu tidak dikuasai oleh istri.
Jika ditanyakan: kenapa pasangan suami istri itu bersekutu di dalam akad nikah, tapi si suami menyendiri dengan hak talak?
Dijawab dengan dua alasan: yang pertama: manakala pasangan suami istri itu bersekutu di dalam hak bersenang-senang, boleh bagi mereka berdua untuk bersekutu dalam akad nikah. Manakala si suami dikhususkan dengan kewajiban untuk menanggung nafkah istri, bolehlah bagi suami untuk dikhususkan dalam menetapkan perpisahan.
Alasan kedua: tidaklah hak talak itu diberikan pada wanita karena keinginan wanita itu mendominasi jiwa wanita, sehingga tidak boleh dianggap aman untuk wanita itu bersegera menjatuhkan talak ketika terjadi persengketaan. Sementara lelaki itu lebih mampu menundukkan keinginan jiwanya daripada kaum wanita, dan boleh dianggap aman untuk dia tidak bersegera mentalak istrinya ketika ada persengketaan.”
(Selesai dari “Al Hawi Fi Fiqhisy Syafi’iy”/Al Mawardiy/10/hal. 113-114).
Abu Hanifah رحمه الله berkata tentang perpisahan di antara pasangan suami istri: “... kalau perpisahan itu datangnya dari istri, maka namanya adalah fasakh, karena wanita itu tidak menguasai hal talak.” (Sebagaimana dalam “Al Mughni” Ibnu Qudamah/7/hal. 532).
Ath Thohawiy رحمه الله dari kalangan Hanafiyyah berkata: “Karena zhihar itu mengharuskan pengharoman deng ucapan. Dan wanita tidak menguasai hak zhihar, sebagaimana dia tidak menguasai hak talak.” (“Mukhtashor Ikhtilafil Ulama”/Ath Thohawiy/2/hal. 118).
Ibnu Abidin Al Hanafiy رحمه الله berkata: “... karena wanita tidak menguasai hak talak, tapi lelakilah yang memiliki hak itu.” (“Hasyiyatu Roddil Muhtar”/Ibnu Abidin/3/hal. 485).
Dan Alauddin As Samarqondiy Al Hanafiy رحمه الله berkata: “... karena wanita itu tidak menguasai hak talak, dan talak itu harus dari ucapan suami.” (“Tuhfatul Fuqoha”/As Samarqondiy/2/hal. 184).
Dan Mahmud bin Ahmad Al Hanafiy رحمه الله berkata: “dan wanita itu tidak menguasai talak, tapi dia menguasai fasakh.” (“Al Muhith Al Burhaniy”/3/hal. 247).
Para ulama Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata: “Wanita itu tidak menguasai hak talak, ataupun hak mengharomkan dirinya terhadap suaminya.” (“Fatawal Lajnatid Daimah”/23/hal. 301).
Al Imam Ibnu Utsaimin رحمه الله: “Tidak layak seorang lelaki menyerahkan pada istrinya sama sekali hak penceraian dirinya, karena dia itu sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama yang melarang itu: lemah pemikirannya, terlalu cepat terpengaruh dan berperasaan. Maka sebab-sebab ini semua mengharuskan untuk seorang lelaki tidak menyerahkan pada istrinya penceraian dirinya sendiri.” (“Asy Syarhul Mumti’”/13/hal. 35).
Kemudian saya mendapatkan ucapan Fadhilatu Syaikhina Al Faqih Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhliy حفظه الله yang mana beliau berkata: “Talak itu di tangan lelaki, bukan di tangan tangan perempuan, dengan kesepakatan kaum Muslimin, karena Allah ta’ala mengajak bicara kaum lelaki tentang talak, di dalam Al Qur’an. Dan dalil tentang itu sudah mutawatir, dan itu termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti dari agama ini.” (“Fathul ‘Allam Syarhu Bulughil Maram”/4/hal. 657).
والله تعالى أعلم بالصواب.
والحمد لله رب العالمين.
Malaysia 22 Ramadhan 1438 H.
Faedah dari Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Aljawiy Al Qudsiy حَفِظَهُ اللّٰه yang di dapat dari Ustadz Abu Adam Almalayzy حَفِظَهُ اللّٰه
Sumber :
https://t.me/dars_syaikh_abu_fairuz
Komentar
Posting Komentar