Hukum Memasukkan Anak ke Masjid








Hukum Memasukkan Anak Ke Masjid

















Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:





Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy   وفقه الله





Judul  Asli: “Ithaful Mustarsyid Bi Hukmi Idkholisy Shibyan Fil Masajid”





Judul bebas terjemahan: “Hukum Memasukkan Anak Ke Masjid”




بسم الله الرحمن الرحيم





Pengantar Penulis  وفقه الله 




الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:



Seorang ikhwah telah mengirimkan surat kepada saya –semoga Alloh memaafkan saya- sepucuk surat yang beliau menyebutkan di dalamnya bahwasanya beliau senang membiasakan anak-anaknya untuk hadir di masjid Alloh, akan tetapi terjadi sedikit perselisihan di Antara dirinya dan sebagian yang lain tentang hukum yang terkait dengan itu, maka beliau meminta saya untuk menjelaskan hal itu.

Maka saya ingin memenuhi permintaannya dengan upaya dan kekuatan dari Alloh semata tiada sekutu bagi-Nya. Saya akan menyebutkan dalil dan penjelasan yang Alloh bukakan ilmunya untuk saya dengan metode ringkas dan jelas, tentang hukum memasukkan anak-anak ke masjid.

Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh dan memohon petunjuk kepada-Nya, saya berkata:


Bab Satu: 





Beberapa Dalil Tentang Bolehnya Memasukkan Anak Kecil ke Masjid



Sesungguhnya Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah memberikan idzin untuk memasukkan anak kecil ke dalam masjid. Penjelasannya adalah dari beberapa sisi:


Dalil yang pertama: 
Dari Abu Qotadah رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:


«إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطول فيها فأسمع بكاء الصبي فأتجوز في صلاتي كراهية أن أشق على أمه».

“Sungguh aku saat menegakkan sholat, aku ingin memanjangkan bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka aku memendekkan sholatku karena aku tidak suka menyusahkan ibunya.” (HR. Al Bukhoriy (707)).

Ini menunjukkan bolehnya memasukkan anak kecil ke dalam masjid.

Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Yang diinginkan di sini dari sabda tadi adalah: bahwasanya para wanita itu dulu menghadiri sholat di belakang Rosululloh صلى الله عليه وسلم di dalam masjid, dan mereka disertai oleh anak-anak mereka, dan bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم mengetahui hal itu, dan beliau dalam sholat beliau memperhatikan kondisi para wanita tadi dan lebih mengutamakan kondisi mereka, dan menjauhi perkara yang menyusahkan mereka. Dan ini menunjukkan bahwa hadirnya mereka dalam jamaah bersama beliau itu tidaklah dibenci andaikata dibenci, niscaya beliau melarang mereka menghadiri sholat bersama beliau.” (“Fathul Bari”/Ibnu Rojab/6/hal. 135).


Dalil kedua: 
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه yang berkata:


ما صليت وراء إمام قط أخف صلاة ولا أتم من النبي صلى الله عليه وسلم، وإن كان ليسمع بكاء الصبي فيخفف مخافة أن تفتن أمه. (أخرجه البخاري (708) ومسلم (470)).

“Tidak pernah aku sholat di belakang seorang imam yang lebih ringan sholatnya daripada Nabi صلى الله عليه وسلم . Pernah beliau mendengar tangisan seorang bayi, maka beliau meringankan sholatnya karena beliau khawatir sang ibu terganggu dengan tangisan tadi.” (HR. Al Bukhoriy (708) dan Muslim (470)).

Ini mendukung dalil yang pertama bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم telah mengidzinkan dimasukkannya anak-anak ke dalam masjid.

Al Qodhi Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Sebagian ulama berdalilkan dengan ini tentang bolehnya memasukkan bayi ke dalam masjid. Sebagian yang lain berkata: “Ini perlu diteliti lagi karena bisa jadi sang anak tersebut ditinggal di suatu rumah yang dekat dengan masjid.” Aku katakan: Ini bukanlah tempat yang perlu diteliti lagi karena yang jelas adalah bahwasanya bayi itu secara umum tidaklah terpisah dari ibunya. Dan di sini ada dalil tentang bolehnya para wanita sholat bersama para pria. Dan dalil hadits ini juga ada dalil tentang kesempurnaan belas kasihan Nabi pada para Shohabat beliau, dan perhatian beliau akan kondisi orang-orang besar dan anak-anak kecil di kalangan mereka.” (“Umdatul Qori”/8/hal. 436).

Dan tiada keraguan bahwasanya bolehnya anak kecil masuk ke masjid tadi juga disertai dengan dijaganya ketenangan masjid dan jangan sampai mereka membikin gangguan pada orang-orang yang sholat, para pembaca Al Qur’an, orang-orang yang sedang I’tikaf, dan orang-orang yang sedang belajar serta para pelaksana ibadah yang lain.

Al Imam Ibnu ‘Utsaimin  berkata dalam syaroh  hadit ini: “Yang ketiga: bolehnya memasukkan anak-anak ke dalam masjid. Ini jika bayi dalam hadits tadi bersama sang ibu. Tapi jika dia ada di luar masjid, di dekat masjid, maka tak ada dalil tentang itu dalam hadits tersebut. Tapi susah juga sang wanita mendengar tangis anaknya dalam rumah sementara dia di dalam masjid. Maka yang jelaslah bahwasanya anak-anak mereka itu bersama mereka, sehingga dalam hadits tadi ada dalil tentang bolehnya memasukkan anak-anak ke dalam masjid.

Akan tetapi dengan syarat tidak terjadinya gangguan dari mereka terhadap masjid ataupun orang-orang yang sholat. Jika dikhawatirkan akan terjadi gangguan terhadap masjid seperti terkotorinya masjid dengan kencing atau najis yang lain, maka anak-anak tadi harus dilarang masuk masjid.

Demikian pula jika dikhawatirkan mereka mengacaukan pikiran orang-orang karena berteriak-teriak, lari-lari, dan membikin gaduh maka anak-anak tadi harus dilarang masuk masjid juga.

Adapun jika tiada gangguan dari mereka, maka tidak apa-apa, karena memang tidak mengapa mereka dibawa datang ke masjid. Adapun hadits:

«جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم»

“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak dan orang-orang gila dari kalian.”

Maka itu adalah hadits yang lemah.”

(“Syarh Riyadhush Sholihin”/Al ‘Utsaimin/hadits pertama dari bab Mengagungkan Kehormatan Muslimin).


Dalil Ketiga: 
Hadits Buroidah رضي الله عنه yang berkata:


خطبنا رسول الله صلى الله عليه و سلم، فأقبل الحسن والحسين رضي الله عنهما، عليهما قميصان أحمران يعثران ويقومان، فنزل فأخذهما فصعد بهما المنبر ثم قال: «صدق الله ﴿إنما أموالكم وأولادكم فتنة﴾ رأيت هذين فلم أصبر» ثم أخذ في الخطبة.

“Pernah Rosululloh صلى الله عليه وسلم berkhothbah kepada kami, lalu datanglah Hasan dan Husain رضي الله عنهما yang memakai gamis merah, lalu keduanya tergelincir jatuh, lalu keduanya bangun lagi. Maka beliau turun dari mimbar, seraya mengambil keduanya, kemudian beliau naik ke mimbar dengan menggendong keduanya, lalu beliau bersabda: “Benarlah Alloh yang berfirman: “Harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah fitnah bagi kalian.” Aku melihat kedua anak ini maka aku tidak sabar.” Kemudian beliau mulai melanjutkan khuthbah beliau.” (HR. Ahmad (23045), Abu Dawud (1109) dan At Tirmidziy (3774)/shohih).

Ini adalah dalil yang jelas tentang bolehnya anak-anak masuk ke dalam masjid. Nabi صلى الله عليه وسلم tidak melarang mereka, bahkan beliau berbicara tentang belas kasihan dan kasih sayang kepada anak-anak.

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan ini adalah bagian dari kesempurnaan kasih sayang, kelembutan dan belas kasihan beliau kepada anak-anak kecil, dan itu adalah pelajaran dari beliau untuk umat ini agar bersikap sayang, belas kasihan dan lebut pada anak-anak kecil.” (“Idatush Shobirin”/hal. 51).

Andaikata masuknya mereka ke dalam masjid itu terlarang, niscaya Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskannya dan tidak mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan. Muhammad bin Abdillah Az Zarkasyiy رحمه الله berkata: “Mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh.” (“Al Bahrul Muhith”/2/hal. 315).


Dalil Keempat: 
Dari Abu Qotadah Al Anshoriy رضي الله عنه yang berkata:


أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن ربيعة بن عبد شمس. فإذا سجد وضعها، وإذا قام حملها.

“Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم dulu sering sholat dalam keadaan menggendong Umamah binti Zainab binti Rosulillah صلى الله عليه وسلم anak dari Abul ‘Ash bin Robi’ah bin Abdisy Syams. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya, dan jika beliau bangun, beliumenggendongnya lagi.” (HR. Al Bukhoriy (516) dan Muslim (543)).

Hadits ini merupakan dalil yang jelas akan bolehnya memasukkan anak-anak kecil ke dalam masjid. Nabi صلى الله عليه وسلم tidak sekedar mengidzinkan atau menyetujui hal itu, bahkan beliau berbuat itu di depan orang-orang. Dan perbuatan beliau yang bukan berupa pendekatan diri pada Alloh, dan tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan menunjukkan akan bolehnya amalan tadi bagi umat ini.

Al Majd Abul Barokat Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata dalam “Al Musawwidah”: “Perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم itu memberikan faidah pembolehan jika di dalamnya tidak ada makna pendekatan diri pada Alloh, menurut pendapat mayoritas ulama.” (dinukil dalam “Syarhul Kaukabil Munir”/1/hal. 370).

Maka dikarenakan jelasnya penunjukan hadits ini, Al Imam An Nasaiy meriwayatkan hadits ini dalam “As Sunanul Kubro” (790) di bawah judul: “Memasukkan Anak-anak Ke Dalam Masjid.”

Maka anak kecil jika tidak mengganggu orang-orang yang di masjid dan tidak mengotori masjid dengan kotoran dan sebagainya, boleh untuk dimasukkan ke dalam masjid.

Ahmad bin Umar Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dalam hadits ini ada fiqih: bolehnya memasukkan anak-anak kecil ke dalam masjid, jika diketahui dari kebiasaan anak itu bahwasanya dia tidak sembarangan kencing, dan baju-baju mereka kemungkinan adalah cukup suci.” (“Al Mufhim”/5/hal. 85).

Dan tidak seyogyanya melarang anak dengan alasan takut menajisi masjid, sampai jelas adanya najis pada anak itu, atau pada bajunya, atau yang semacam itu, atau diketahui bahwasanya anak itu sembarangan mengeluarkan najis.

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata dalam syarh hadits Abu Qotadah رضي الله عنه: “Maka di dalamnya ada dalil tentang shohihnya sholat orang yang membawa manusia atau hewan yang suci semacam burung, kambing dan semacamnya, dan bahwasanya baju dan badan anak-anak itu suci sampai memang dipastikan adanya najis padanya, dan bahwasanya gerakan sedikit itu tidak membatalkan sholat, dan bahwasanya gerakan-gerakan jika terulang-ulang tapi tidak secara beruntun, bahkan terpisah-pisah, itu tidak membatalkan sholat.” (“Syarh Shohih Muslim”/An Nawawiy/15/hal. 45).

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan itu adalah dalil tentang bolehnya sholat dalam baju anak perempuan yang masih dirawat dan masih menyusu, dan baju wanita haidh dan baju anak laki-laki kecil selama belum jelas kenajisannya.” (“Ighotsatul Lahfan”/1/hal. 152).

Ibnu Hajar رحمه الله berkata tentang faidah hadits ini: “Ini menunjukkan bolehnya memasukkan anak-anak ke dalam masjid, dan bahwasanya menyentuh anak kecil itu tidak mempengarhui kesucian. Bisa jadi dibedakan Antara mahrom dan yang bukan mahrom. Dan hadits tadi menunjukkan sahnya sholat orang yang memikul manusia, dan demikian pula orang yang memikul hewan yang suci.” (“Fathul Bari/1/hal. 592).

Perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم ini menunjukkan juga akan pentingnya bersikap lembut dan belas kasihan pada anak-anak. Oleh karena itulah maka An Nawawiy رحمه الله berkata dalam syarh hadits ini: “Di dalamnya ada dalil untuk tawadhu’ bersama anak-anak dan seluruh kaum yang lemah, sayang dan lembut pada mereka.” (“Syarh Shohih Muslim”/An Nawawiy/15/hal. 45).

Jika ada orang berkata: bisa jadi Nabi صلى الله عليه وسلم melakukan itu dalam sholat sunnah atau bukan di masjid.

Kita jawab –dengan taufiq Alloh semata-: hadits tadi menunjukkan bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم melakukannya dalam sholat jama’ah di masjid. Dan kebiasaan Nabi صلى الله عليه وسلم adalah: beliau itu mengimami orang-orang dalam sholat wajib di masjid.

Dalilnya adalah lafazh lain dari hadits Abu Qotadah Al Anshoriy رضي الله عنه yang berkata:

رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يؤم الناس وأمامة بنت أبي العاص وهي ابنة زينب بنت النبي صلى الله عليه و سلم على عاتقه فإذا ركع وضعها وإذا رفع من السجود أعادها.

“Aku melihat Nabi صلى الله عليه وسلم mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah binti Abul ‘Ash, yaitu anak Zainab binti Nabi صلى الله عليه وسلم ada di pundak beliau. Jika beliau ruku’, beliau meletakkannya, dan jika beliau bangun dari sujud, beliau menggendongnya lagi. (HR. Muslim (543)).

Dan dalam riwayat yang lain dari hadits Abu Qotadah Al Anshoriy رضي الله عنه yang berkata:

بينا نحن في المسجد جلوس خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم، بنحو حديثهم غير أنه لم يذكر أنه أم الناس في تلك الصلاة. (أخرجه مسلم (543)).

“Ketika kami duduk-duduk di dalam masjid, Rosululloh صلى الله عليه وسلم keluar kepada kami, … seperti hadits yang terdahulu. Hanya saja dia tidak menyebutkan bahwasanya beliau mengimami orang-orang dalam sholat tadi. (HR. Muslim (543)).

Dan hadits-hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم itu saling menjelaskan. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka sunnah itu sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, sebagiannya tidaklah membantah sebagian yang lain.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/2/hal. 423).

An Nawawiy رحمه الله berkata: “Ucapan beliau: “Aku melihat Nabi صلى الله عليه وسلم mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah ada di pundak
beliau” ini menunjukkan benarnya madzhab Asy Syafi’iy رحمه الله تعالى dan ulama yang mencocoki beliau bahwasanya boleh menggendong anak lelaki dan perempuan dan yang lainnya semisal hewan yang suci dalam sholat wajib dan sholat sunnah. Dan itu boleh dilakukan oleh imam dan makmum dan orang yang sholat sendirian.

Para pengikut Malik رضي الله عنه membawa hadits ini kepada sholat sunnah, dan mereka melarang hal itu dalam sholat wajib. Dan ini adalah penakwilan yang rusak, karena ucapan Abu Qotadah: “Mengimami orang-orang” itu jelas sekali atau seperti perkataan yang terang bahwasanya amalan tadi terjadi saat sholat wajib. Sebagian Malikiyyah mendakwakan bahwasanya hadits tadi mansukh. Dan sebagiannya mendakwakan bahwasanya amalan tadi khusus untuk Nabi صلى الله عليه وسلم. Dan sebagiannya mendakwakan bahwasanya itu dilakukan karena darurat. Dan seluruh dakwaan tersebut batil dan tertolak, karena tidak ada dalil akan hal itu, dan tiada keperluan yang darurat untuk berbuat itu. Bahkan hadits tadi jelas sekali akan bolehnya amalan tadi, dan tidak ada di dalamnya perkara yang menyelisihi kaidah-kaidah syariat, karena manusia itu suci. Benda najis yang ada di dalam perutnya itu dimaafkan karena masih di dalam lambungnya. Dan baju serta badan anak-anak itu dihukumi suci.

Dan dalil-dalil syariat saling mendukung masalah ini. Dan gerakan-gerakan di dalam sholat itu tidak membatalkan sholat tadi jika hanya sedikit, atau terpisah-pisah. Dan perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم itu merupakan penjelasan akan bolehnya amalan tadi, dan sebagai peringatan tentang qoidah-qoidah yang aku sebutkan tadi.” (“Syarh Shohih Muslim”/15/hal. 45).

Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Maka gabungan dari riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم memulai sholat sebagai imam bagi orang-orang dalam sholat wajib dalam keadaan beliau menggendong Umamah, dan bahwasanya beliau jika ruku’ dan sujud, beliau meletakkannya di tanah. Lalu jika beliau bangkit ke rekaat kedua beliau menggendongnya lagi,  demikianlah sampai beliau menyelesaikan sholat beliau. Dan hadits ini merupakan nash yang terang sekali akan bolehnya amalan macam ini di dalam sholat wajib, dan bahwasanya yang demikian itu tidak dibenci, lebih-lebih untuk dihukumi batal.” (“Fathul Bari”/Ibnu Rojab/3/hal. 361).

Dan hadits ini tidak mansukh sebagaimana pernyataan sebagian ulama.

Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “At Tinisiy berkata: Malik berkata: “Ada di Antara hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang nasikh dan mansukh, dan bukanlah amalan kita didasarkan pada hadits tadi.” Ibnu Abdil Barr berkata: “Barangkali hadits tadi dihapus dengan dalil diharomkannya gerakan dalam sholat.”

Ucapan ini terbantah dengan penjelasan bahwasanya nasakh itu tidak menjadi pasti dengan sekedar kemungkinan, dan terbantah dengan bahwasanya kisah ini terjadi setelah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

«إن في الصلاة لشغلاً» ]أخرجه البخاري (1216) عن ابن مسعود رضي الله عنه[

“Sesungguhnya di dalam sholat itu benar-benar ada kesibukan,” [HR. Al Bukhoriy (1216) dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه].

Karena hadits ini terjadi sebelum hijroh, sementara kisah Umamah ini terjadi jauh sekali setelah hijroh secara pasti.”

(“Fathul Bari”/Ibnu Hajar/1/hal. 592).

Dan tidak benar untuk dikatakan bahwasanya itu hanyalah khusus untuk Nabi صلى الله عليه وسلم , karena dakwaan kekhususan itu memerlukan dalil, dan tiada dalil dalam masalah ini.

Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Iyadh menyebutkan dari sebagian dari ulama bahwasanya amalan tadi khusus untuk Nabi صلى الله عليه وسلم , karena beliau itu ma’shum dari terkencingi dalam keadaan beliau menggendong Umamah. Dan pendapat ini tertolak karena pada asalnya adalah tidak ada kekhususan, dan bahwasanya jika memang suatu perkara itu adalah khusus untuk beliau, tidak lahmengharuskan dalam perkara lain juga merupakan kekhususan beliau tanpa ada dalil yang mendukung.” (“Fathul Bari”/Ibnu Hajar/1/hal. 592).

Dan tiada keraguan bahwasanya amalan yang dikerjakan Nabi صلى الله عليه وسلم secara terang-terangan itu memiliki hikmah-hikmah yang agung, di antaranya adalah: untuk mengajarkan kebenaran, membantah kekeliruan, menolak dugaan yang salah, dan sebagainya.

Al Fakihaniy رحمه الله berkata: “Rahasia beliau menggendong Umamah dalam sholat adalah untuk menolak adat yang sudah sudah sangat diakrabi oleh Arob yang membenci anak perempuan ataupun menggendongnya. Maka beliau menyelisihi mereka dalam adat tadi sampai dalam suasana sholat dalam rangka menekankan bantahan terhadap mereka. Dan penjelasan dengan perbuatan itu terkadang lebih kuat daripada dengan ucapan.” (“Fathul Bari”/Ibnu Hajar/1/hal. 592).

Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Al Jauzajaniy berkata dalam kitabnya “At Tarjumah”: Ismail bin Sa’id mengabariku: aku bertanya pada Ahmad bin Hanbal tentang orang yang menggendong anak kecil dan meletakkannya dalam sholat, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. Maka beliau menjawab: “Sholatnya boleh.”

Dan Ibnul Mundzir menceritakan dari Asy Syafi’iy dan Abu Tsaur tentang bolehnya menggendong anak dalam sholat wajib.”

(“Fathul Bari”/Ibnu Rojab/3/hal. 361).

Beliau رحمه الله juga berkata: “Telah jelas bahwasanya kebanyakan ulama membolehkan itu tanpa ada kebencian. Dan pengkhususannya dengan sholat sunnah itu tertolak dengan nash-nash yang jelas menyatakan bahwasanya beliau melakukan itu dalam sholat wajib, dalam keadaan beliau mengimami orang-orang dalam sholat tadi. Al Isma’iliy meriwayatkan dalam “Shohih” beliau dari hadits Abdulloh bin Yusuf dari Malik bahwasanya beliau berkata setelah meriwayatkan hadits ini:
“Ada di Antara hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang nasikh dan mansukh, dan bukanlah amalan kita didasarkan pada hadits tadi.”

Dan Malik hanyalah mengisyaratkan pada amalan orang yang beliau dapati dari kalangan fuqoha penduduk Madinah secara khusus seperti Robi’ah dan lainnya, sementara para fuqoha penduduk Iraq seperti Al Hasan dan An Nakho’iy telah mengamalkan hadits tadi, dan juga para fuqoha Ahlul Hadits, dan tidak mungkin pihak yang mendakwakan akan mensukhnya hadits tadi untuk mendatangkan nash yang menghapusnya.”

(“Fathul Bari”/Ibnu Rojab/3/hal. 362). 

Beliau رحمه الله juga berkata: “Dalam hadits tadi juga ada dalil akan sucinya baju anak-anak, karena andaikata telah ditetapkan kenajisannya niscaya beliau tak akan sholat dalam kondisi menggendong Umamah. Dan Asy Syafi’iy dan yang lainnya telah menetapkan akan kesucian baju anak-anak. Dan di Antara pengikut Asy Syafi’iy ada juga yang menyebutkan adanya dua pendapat di kalangan mereka.” (“Fathul Bari”/Ibnu Rojab/3/hal. 363).

Qodhi Badruddin Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Dan termasuk dari faidah hadits ini adalah bolehnya memasukkan anak-anak kecil ke masjid. Di antaranya juga adalah: sahnya sholat orang yang menggendong manusia, begitu pula yang menggendong hewan yang suci. Dan di antaranya pula: di dalamnya ada ketawadhu’an Nabi عليه الصلاة والسلام dan belas kasihan beliau pada anak kecil, dan pemuliaan beliau pada mereka dan orang tua mereka.” (“Umdatul Qori”/7/hal. 287).

Syamsul Haq Azhim Abadiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini menunjukkan bahwasanya perbuatan semacam ini dimaafkan tanpa ada perbedaan Antara sholat wajib dan sholat sunnah, orang sendirian ataukan makmum ataukah imam, karena di dalam riwayat yang akan datang lafazhnya adalah: “Ketika kami tengah menunggu Rosululloh صلى الله عليه وسلم untuk sholat zhuhur dan ashr, … hingga akhir hadits. Dan karena dalam “Shohih Muslim” dengan lafazh: “beliau mengimami orang-orang di masjid.”Maka jika hal itu boleh dalam kondisi sebagai imam dalam sholat wajib, maka lebih-lebih lagi boleh pula dalam sholat yang lain.” Beliau رحمه الله juga berkata: “Dan dalam hadits tadi juga ada dalil bahwasanya menyentuh mahrom itu tidak membatalkan kesucian. Dan yang demikian itu karena tidaklah beliau berbuat itu kecuali dalam keadaan beliau tentunya menyentuh sebagian anggota badan cucu beliau tadi. Dan dalam hadits ini ada dalil bahwasanya baju anak kecil dan badan mereka itu suci selama belum diketahui kenajisannya. Dan dalam hadits ini ada dalil bahwasanya amalan sedikit itu tidak membatalkan sholat. Dalam hadits ini ada dalil akan bolehnya memasukkan anak kecil ke dalam masjid.”

(selesai dari “Aunul Ma’bud”/3/hal. 131-133).


Dalil Kelima: 
Dari Abdulloh bin Syaddad dari ayahnya yang berkata:


خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاتي العشاء وهو حامل حسنا أو حسينا، فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى، فسجد بين ظهراني صلاته سجدة أطالها. قال أبي: فرفعت رأسي وإذا الصبي  على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد، فرجعت إلى سجودي فلما قضى رسول الله صل  الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهراني صلاتك سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر أو أنه يوحى إليك. قال: «كل ذلك لم يكن ولكن ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته».

“Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami di salah satu sholat isya sambil menggendong Hasan atau Husain. Lalu Rosululloh صلى الله عليه وسلم maju seraya meletakkan anak itu, kemudian beliau bertakbir untuk sholat dan masuk ke ibadah sholat. Lalu beliau sujud di tengah-tengah sholat beliau itu dengan sujud yang lama.”

Ayahku berkata: “Maka aku mengangkat kepalaku, ternyata si anak itu ada di pungguh Rosululloh صلى الله عليه وسلم dalam keadaan beliau sujud. Maka aku kembali ke posisi sujudku. Manakala Rosululloh صلى الله عليه وسلم menyelesaik sholat beliau, orang-orang berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya Anda sujud di tengah-tengah sholat Anda dengan sujud yang panjang hingga kami mengira terjadi suatu perkara atau Anda mendapatkan wahyu.” Beliau menjawab: “Itu semua tidak terjadi, akan tetapi anakku naik ke badanku maka aku tidak suka untuk membikinnya segera turun hingga dia menyelesaikan keperluannya.”

(HR. An Nasaiy/no. (1140)/shohih).

Ini menunjukkan bolehnya memasukkan anak ke dalam masjid dan menggendong dia di dalam sholat, dan ini jelas sekali bahwasanya beliau melakukan itu di dalam sholat wajib dan berjamaah di masjid, selama baju dan badannya suci. Dan benda najis yang ada di rongga perut dia –dan rongga perut kita semua- bukan penghalang untuk melakukan ini semua.

Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Oleh karena itu boleh menggendong anak kecil di dalam sholat sekalipun di dalam perutnya ada najis. Wallohu a’lam.” (Majmu’ Fatawa”/21/hal. 104).

Al Imam Muhammad Al ‘Utsaimin رحمه الله ditanya: “Fadhilatusy Syaikh, apa hukum menghadirkan anak-anak yang di bawah usia tamyiz (belum bisa membedakan warna dsb), yang sudah dipasangkan padanya hafaizh (pampers dsb) yang bisa jadi secara keumuman ada najisnya di dalamnya? Jika anak-anak tadi hadir, apakan mereka perlu diusir ataukah tidak?”

Maka beliau رحمه الله menjawab: “Menghadirkan anak-anak ke dalam masjid itu tidak apa-apa sepanjang tidak ada gangguan dari mereka. Jika terjadi gangguan dari mereka, maka mereka dilarang masuk masjid. Akan tetapi tata cara melarang mereka adalah: dengan kita menelpon para pengurus mereka dan kita berkata: “Anak-anak kalian mengacaukan pikiran kami dan mengganggu kami,” dan sebagainya. Dulu Nabi عليه الصلاة والسلام masuk ke dalam sholat beliau dan ingin memanjangkan amalan di dalam sholat, lalu beliau mendengar tangisan anak kecil sehingga beliau memendekkan sholat beliau karena beliau mengkhawatirkan sang ibu terfitnah. Dan ini menunjukkan bahwasanya anak-anak itu dulu ada di masjid. Akan tetapi sebagaimana telah kita katakan: jika terjadi gangguan dari mereka, mereka dilarang hadir, melalui jalur pengurus mereka, agar tidak terjadi fitnah, karena engkau jika mengusir anak kecil yang berusia tujuh tahun yang mengganggu di dalam masjid, dan engkau memukulnya, ayahnya akan melawan kamu, karena manusia sekarang ini mayoritasnya tak punya keadilan dan objektivitas. Dia berbicara denganmu dan bisa jadi akan terjadi permusuhan dan kebencian. Maka obat masalah ini adalah: kita melarang mereka melalui jalur ayah-ayah mereka hingga tidak terjadi fitnah dalam perkara tadi. Adapun masalah menghadirkan  anak kecil, memang bukanlah yang lebih utama itu menghadirkannya, akan tetapi terkadang sang ibu terpaksa menghadirkannya karena di rumah tidak ada orang, sementara sang ibu ingin menghadiri dars, ingin menghadiri sholat Romadhon dan sebagainya.

Yang penting adalah: jika penghadiran anak tadi menyebabkan gangguan, atau ayahnnya misalkan terkacaukan dalam sholatnya karena dia sibuk menjaga anak itu, maka janganlah dia membawanya. Kemudian jika anak itu masih kecil dengan memakai pampers, dia tak akan mengambil faidah dari kehadirannya. Adapun yang usianya tujuh tahun atau lebih, yang kita diperintahkan untuk memerintahkan mereka untuk sholat, maka mereka itu bisa mengambil faidah dari kehadiran di masjid.

Akan tetapi engkau tak bisa memaksa setiap orang, bisa jadi sang ibu tidak ada, sudah wafat, atau pergi ke suatu kesibukan yang harus ditunaikan, sementara tidak ada orang lain di rumah. Maka sang ayah sekarang ada di antara dua pilihan: meninggalkan sholat jama’ah dan duduk bersama anaknya, atau datang ke jama’ah dengan membawa anaknya. Maka hendaknya ditimbang, diperhatikan mana yang harus dipilih.”

(“Liqo’il Babil Maftuh”/7/hal. 194-195).

Jika ada orang berkata: sesungguhnya menggendong dan menurunkan anak di dalam sholat itu menyibukkan pikiran orang yang sholat. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم membenci tersibukkannya pikiran orang yang sholat dengan perkara lain, sabagaimana dalam hadits Aisyah رضي الله عنها yang berkata:

قام رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي في خميصة ذات أعلام فنظر إلى علمها فلما قضى صلاته قال: «اذهبوا بهذه الخميصة إلى أبي جهم بن حذيفة وائتوني بأنبجانية فإنها ألهتني آنفا في صلاتي».

“Nabi  pernah bangkit untuk sholat dengan memakai khomishoh (selimut berbulu yang punya gambar-gambar, yang bukan makhluk bernyawa). Maka beliau melihat ke gambar-gambar tadi. Ketika beliau menyelesaikan sholatnya, beliau bersabda: “Bawalah pergi selimut ini ke Abu Jahm bin Hudzaifah, dan bawa kemari anbijaniyyah (selimut berbulu yang polos tak punya gambar-gambar), karena khomishoh tadi melalaikan aku di dalam sholatku barusan.” (HR. Al Bukhoriy (5817) dan Muslim (556)).

Memang, jika amalan tadi menyibukkan kita dari sholat kita, tidak sepantasnya dilakukan.  Jika tidak demikian maka tidak apa-apa, terutama lagi jika maslahat dalam menggendong anak saat itu besar.

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Adapun masalah khomishoh, maka beliau menyingkirkannya karena dia menyibukkan hati tanpa faidah. Sementara dalam  masalah menggendong Umamah, kami tidak menerima bahwasanya hal itu sampai menyibukkan hati beliau. Kalaupun menyibukkan, maka di situ ada faidah-faidah dan penjelasan qoidah-qoidah yang telah kami jelaskan dan yang lainnya. Maka kesibukan tadi dihalalkan karena adanya faidah-faidah ini. Berbeda dengan khomishoh. Maka yang benar dan tidak boleh ditolak adalah: bahwasanya hadits ini merupakan penjelasan akan bolehnya amalan tadi, dan sebagai peringatan akan faidah-faidah ini. Maka ini boleh untuk kita, dan menjadi syariat yang terus berlangsung untuk umat Islam sampai hari Kiamat. Wallohu a’lam. (“Syarh Muslim”/15/hal. 46).

Al Imam Muhammad Al ‘Utsaimin رحمه الله ditanya: “Ada sebagian orang yang sholat hadir di masjid dan disertai anak-anak yang belum mencapai usia tamyiz, dan anak-anak tadi belum  pintar sholat, dan mereka turut berbaris bersama orang-orang yang sholat di dalam shoff. Sebagian dari mereka bermain-main dan membikin ribut orang yang disekitarnya. Maka apa hukum masalah ini? Dan apa pengarahan Anda untuk para pengurus anak-anak itu?”

Maka beliau menjawab: “Menurut pendapatku adalah bahwasanya menghadirkan anak-anak yang mengacaukan pikiran orang yang sholat adalah tidak boleh, karena yang demikian itu merupakan gangguan terhadap Muslimin yang tengah menunaikan kewajiban dari Alloh. Nabi صلى الله عليه وسلم mendengar sebagian Shohabat beliau sholat dan mengeraskan bacaan mereka, maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«لا يجهر بعضكم على بعض في القرآن».

“Janganlah salah seorang dari kalian mengeraskan bacaan Qur’an sehingga mengganggu sebagian yang lain.”

Dan dalam hadits yang lain Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«فلا يؤذين بعضكم بعضاً»

“Maka sungguh janganlah sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain.”

Maka setiap perkara yang menjadi gangguan bagi orang-orang sholat maka tidak halal untuk seseorang melakukan itu.

Maka nasihatku kepada para pengurus anak-anak tersebut untuk tidak menghadirkan mereka ke masjid, dan agar mereka mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم yang mana beliau bersabda:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر».

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun.”

Sebagaimana aku juga mengarahkan nasihat kepada ahli masjid agar melapangkan dada mereka untuk anak-anak yang disyariatkan kedatangan mereka ke masjid, dan agar tidak mempersulit mereka, atau membangkitkan mereka dari posisi-posisi mereka yang mereka telah lebih dulu sampai ke tempat duduk tadi, karena sesungguhnya orang yang lebih dulu sampai ke suatu tempat maka dia lebih berhak dengan tempat tadi, sama saja apakah dia itu anak-anak ataukah orang yang sudah baligh. Maka membangkitkan anak-anak dari tempat duduk mereka di dalam shoff di dalamnya:

Yang pertama: pembatalan hak mereka, karena barangsiapa lebih dulu sampai ke suatu tempat yang belum dicapai oleh orang lain dari Muslimin maka dia lebih berhak dengan tempat ini.

Yang kedua: di dalamnya ada upaya melarikan anak-anak dari hadir di masjid-masjid.

Yang ketiga: di dalam perbuatan tadi bisa menyebabkan anak-anak jadi dendam atau membenci orang yang membangunkannya dari tempat duduk yang dia lebih dulu mencapainya.

Yang keempat: pengusiran tadi bisa menyebabkan anak-anak jadi berkumpul satu sama lain, sehingga terjadilah di kalangan mereka main-main dan membikin kegaduhan terhadap ahli masjid yang tidak terjadi jika anak-anak duduk di Antara pria-pria baligh. Adapun yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwasanya anak-anak itu boleh dibangunkan dari tempat duduknya sehingga anak-anak mengambil posisi di akhir shoff, atau di akhir shoff masjid berdalilkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

«ليلني منكم أولو الأحلام والنهى»

“Hendaknya yang berdiri di dekatku dari kalian adalah orang-orang yang punya mata hati dan berakal.”

Maka sungguh itu adalah ucapan yang lemah yang bertentangan dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

«من سبق إلى ما لم يسبقه إليه فهو أحق به»

“Barangsiapa lebih dulu tiba di tempat yang tidak didahului oleh orang lain maka dia lebih berhak dengan tempat itu.”

Adapun berdalilkan dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Hendaknya yang berdiri di dekatku dari kalian adalah orang-orang yang punya mata hati dan berakal,”  tidaklah sempurna, karena makna hadits tadi adalah: dorongan bagi orang-orang yang punya mata hati dan berakal untuk maju sampai berdiri di dekat Nabi صلى الله عليه وسلم karena mereka itu lebih dekat kepada fiqih daripada anak-anak, dan lebih mantap untuk memahami apa yang mereka lihat atau mereka dengar dari Nabi صلى الله عليه وسلم, dan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak bersabda: “Tidak boleh berdiri di dekatku kecuali orang-orang yang punya mata hati dan berakal”. Andaikata beliau bersabda: “Tidak boleh berdiri di dekatku kecuali orang-orang yang punya mata hati dan berakal” niscaya pendapat untuk membangkitkan anak-anak dari posisi mereka di shoff-shoff depan punya sisi kebenaran. Akan tetapi pola yang datang dengannya hadits tadi adalah: beliau memerintahkan agar orang-orang yang punya mata hati dan berakal maju hingga dekat dengan Rosululloh صلى الله عليه وسلم.”

(selesai dari “Majmu’ Fatawa Wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin”/15/hal. 31-32).

Adapun hadits yang disebutkan Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله:

«لا يجهر بعضكم على بعض في القرآن».

“Janganlah salah seorang dari kalian mengeraskan bacaan Qur’an sehingga mengganggu sebagian yang lain.”

Maka hadits tadi diriwayatkan oleh Al Imam An Nasaiy dalam “As Sunanul Kubro” (8091) dan Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Imam” (2656) dari Abu Hazim At Tammar dari Al Bayadhiy dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم.

Abu Hazim At Tammar diperselisihkan nama dan nisbatnya. Al Ajurriy berkata: Aku bertanya pada Abu Dawud: “Abu Hazim yang Muhammad bin Ibrohim At Taimiy meriwayatkan darinya itu siapa?” Beliau menjawab: “Dia tsiqoh. Dan orang ini yang dari Bani Bayadhoh ada yang bilang bahwa namanya itu Abdulloh bin Hazim. Dan ada yang bilang bahwa namanya itu Farwah bin Amr.”

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Abu Hazim ada dua, salah satunya adalah maula Bani Bayadhoh dan maula Anshor. Sementara Abu Hazim maula Ghifariyyin itulah At Tammar. Maka bisa jadi kedua-duanya meriwayatkan hadits ini, dan bisa jadi sebagian rowi salah sangka dalam ucapannya: “Maula Bani Gifar. Allohu ta’ala a’lam.” (“Tahdzibut Tahdzib”/12/hal. 68).

Kesimpulannya: sanadnya itu shohih.

Dan dia punya pendukung dari hadits yang diriwayatkan Ath Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Ausath” (2362), dan Al Harits bin Abi Usamah dalam “Musnad” (231) dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما dengan sanad shohih.

Dan hadits kedua yang disebutkan Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله:

«فلا يؤذين بعضكم بعضاً»

“Maka sungguh janganlah sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain.”

Maka hadits tadi diriwayatkan oleh Al Imam An Nasaiy dalam “As Sunanul Kubro” (8092) dari Abu Sa’id Al Khudriy dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم, dengan sanad shohih.

Adapun hadits ketiga:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها
لعشر»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka
berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia
sepuluh tahun.”

Itu adalah riwayat Al Imam Ahmad (6689) dan Abu Dawud (495) dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dengan sanad hasan.

Adapun hadits keempat:

«ليلني منكم أولو الأحلام والنهى»

“Hendaknya yang berdiri di dekatku dari kalian adalah orang-orang yang punya mata hati dan berakal.”

Maka itu adalah riwayat Muslim (432) dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه.

Adapun hadits kelima:

«من سبق إلى ما لم يسبقه إليه فهو أحق به»

“Barangsiapa lebih dulu tiba di tempat yang tidak didahului oleh orang lain maka dia lebih berhak dengan tempat itu.”

Maka itu diriwayatkan oleh Abu Dawud (3071) dan yang lainnya dari Ummu Janub bintu Numailah, dari ibunya yaitu Suwaidah bintu Jabir, dari ibnunya yaitu ‘Uqoilah bintu Asmar bin Mudhorris, dari ayahnya Asmar bin Mudhorris dari Nabi صلى الله عليه وسلم.

Ummu Janub bintu Numailah tidak dikenal (“Mizanul I’tidal”/(11010)).

Suwaidah bintu Jabir juga tidak dikenal siapakah dia itu, seperti ibnunya (“Mizanul I’tidal”/(3626)). 

‘Uqoilah bintu Asmar bin Mudhorris tidak dikenal kondisinya. (“Lisanul Mizan”/(5926)).

Maka hadits dengan sanad ini lemah.

Dan dalam bab ini ada hadits Abu Huroiroh رضي الله عنه:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال:  «إذا قام أحدكم -وفي رواية: من قام من مجلسه- ثم رجع إليه فهو أحق به».

Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berdiri –dan dalam suatu riwayat:- barangsiapa bangkit dari tempat duduknya- lalu dia kembali lagi ke situ, maka dia lebih berhak dengan tempat itu.” (HR. Muslim (2179)).

Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Ini menunjukkan akan benarnya pendapat akan wajibnya apa yang telah kami sebutkan, yaitu orang yang duduk itu dia punya hak kekhususan dengan tempat duduknya sampai dia bangkit darinya, karena jika dia lebih berhak akan tempat tadi setelah dia bangkit, maka sebelum itu dia lebih  utama dan lebih berhak akan tempat itu. Ulama yang lain berpendapat bahwasanya itu mustahab saja, karena tempat tadi bukanlah tempat yang di bawah kekuasaan seseorang, baik sebelum diduduki ataupun setelahnya. Pendapat ini perlu diteliti lagi. Kita katakan: kita terima bahwasanya tempat tadi bukanlah milik dia, akan tetapi dia punya hak kekhususan dengan tempat tadi sampai dia menyelesaikan maksudnya akan tempat tadi, sehingga seakan-akan dia itu menguasai manfaat tempat tadi, karena Nabi telah melarang orang lain untuk berebut dengannya akan tempat tadi.” (“Al Mufhim”/18/hal. 15).

Kita kembali pada pembahasan kita yang terdahulu.

Berarti anak kecil boleh masuk masjid, dengan adab-adabnya, dan boleh berdiri di Antara shoff-shoff orang dewasa.

Manakal As Sayyid Sabiq رحمه الله menyebutkan: “Posisi anak-anak dan wanita dibandingkan dengan kaum pria. Dulu Rosululloh صلى الله عليه وسلم menjadikan kaum pria ada di depan anak-anak, dan anak-anak ada di belakang mereka, dan kaum wanita ada di belakang anak-anak. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.”

Al Imam Al Albaniy رحمه الله mengomentari: “Sanad keduanya itu lemah, di dalamnya ada Syahr bin Hausyab, dan dia itu lemah sebagaimana telah dijelaskan berkali-kali. Masalah shoff wanita saja di belakang pria, ada hadits-hadits shohih. Adapun menjadikan anak-anak di belakang kaum pria, maka aku tidak mendapatkan dalilnya selain hadits ini tadi, dan hujjah tidak tegak dengannya. Maka aku berpendapat tidak mengapa anak-anak lelaki berdiri bersama para pria jika shoffnya cukup luas. Dan sholatnya yatim bersama Anas di belakang Nabi صلى الله عليه وسلم menjadi hujjah untuk masalah tadi.

(selesai dari “Tamamil Minnah Fit Ta’liq ‘Ala Fiqhis Sunnah”/Al Albaniy/hal. 284).

Dalil keenam: dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤتى بالتمر عند صرام النخل فيجيء هذا بتمره وهذا من تمره، حتى يصير عنده كوما من تمر. فجعل الحسن والحسين رضي الله عنهما يلعبان بذلك التمر فأخذ أحدهما تمرة فجعلها في فيه. فنظر إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخرجها من فيه فقال: «أما علمت أن آل محمد صلى الله عليه وسلم لا يأكلون الصدقة».

“Dulu Rosululloh صلى الله عليه وسلم didatangi dengan kurma pada masa panen kurma, maka orang-orang datang membawa shodaqoh kurma, sampai terbentuk di dekat beliau setumpuk korma. Lalu datanglah Al Hasan dan Al Husain رضي الله عنهما bermain-main dengan korma tadi, lalu salah satunya mengambil

sebutir kurma dan memassukkannya ke dalam mulutnya. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihatnya lalu mengeluarkannya dari mulutnya seraya bersabda:
“Apakah engkau tidak tahu bahwasanya keluarga Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak memakan shodaqoh?” (HR. Al Bukhoriy (1485) dan Muslim
(1069)).

Dari Abul Hauro yang berkata:

كنا عند حسن بن علي فسئل: ما عقلت من رسول الله صلى الله عليه و سلم أو عن رسول الله صلى الله عليه و سلم؟ قال: كنت أمشي معه فمر على جرين من تمر الصدقة فأخذت تمرة فألقيتها في فمي فأخذها بلعابي. فقال بعض القوم:  وما عليك لو تركتها قال: «إنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة». قال: وعقلت منه الصلوات الخمس.

“Kami pernah ada di sisi Al Hasan bin Ali, lalu beliau ditanya: “Apa yang Anda pahami dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم?” Beliau menjawab: “Aku pernah berjalan bersama beliau, lalu beliau melewati keranjang korma shodaqoh, maka aku mengambil sebutir kurma dan kumasukkan ke dalam mulutku. Maka beliau mengambilnya dengan ludahku. Maka sebagian orang berkata: “Tidak mengapa wahai Nabi jika Anda membiarkannya.” Maka beliau menjawab: “Kami keluarga Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak halal bagi kami shodaqoh”. Al Hasan juga berkata: “Dan aku juga memahami dari beliau sholat lima waktu.” (HR. Ahmad (1720)/shohih).

Ini jelas dalil akan dibolehkannya anak-anak masuk masjid, karena kebiasaan Nabi صلى الله عليه وسلم menerima pengumpulan shodaqoh adalah di masjid. Dan Al Hasan mempelajari tata cara sholat lima waktu dari Nabi yang biasa beliau lakukan di masjid.

Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil tentang penyerahan shodaqoh-shodaqoh kepada sang imam, dan pemanfaatan masjid untuk urusan-urusan umum, dan bolehnya memasukkan anak-anak kecil ke dalam masjid, dan mendidik mereka dengan perkara yang bermanfaat bagi mereka, dan melarang mereka dari perkara yang membahayakan mereka, dan dari berbuat yang harom, sekalipun anak-anak itu bukan mukallaf. Tujuannya adalah untuk melatih mereka dengan itu semua.” Dan seterusnya. (“Fathul Bari”/3/hal. 355).


Bab Dua: 
Di Antara Faidah Memasukkan Anak-anak ke Masjid Alloh



Sesungguhnya anak-anak membutuhkan pendidikan dan pelatihan sejak kecil untuk melaksanakan perintah, menjauhi larangan, sambil memperhatikan kadar kekuatan badan dan pemahaman mereka.

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:

«مروا صبيانكم بالصلاة إذا بلغوا سبعا واضربوهم عليها إذا بلغوا عشرا وفرقوا بينهم في المضاجع».

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat jika mereka mencapai usia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu jika mereka mencapai usia sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka dalam tempat-tempat tidur.” (HR. Al Imam Ahmad (6689) dan Abu Dawud (495) dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dengan sanad hasan).

Al Munawiy رحمه الله berkata: “Yaitu: jika anak-anak kalian mencapai usia tujuh tahun, maka perintahkanlah mereka untuk menunaikan sholat agar mereka terbiasa dengan sholat danmerasa akrab dengannya. Jika mereka mencapai usia sepuluh tahun, pukullah mereka jika meninggalkan sholat. –sampai ucapan beliau:-. “Dan pisahkanlah di antara mereka dalam tempat-tempat tidur” yaitu: pisahkanlah di antara anak-anak kalian dalam tempat-tempat tidur mereka jika telah mencapai usia sepuluh tahun untuk menghindari bahayanya syahwat, sekalipun mereka adalah saudara sendiri. Ath Thibiy berkata: “Nabi menggabungkan perintah untuk sholat dan pemisahan tempat tidur di antara mereka sejak kecil dalam rangka mendidik mereka menjaga perintah Alloh, dan mengajari mereka cara pergaulan di antara para makhluk, dan agar mereka tidak mengambil posisi-posisi yang menimbulkan tuduhan, agar mereka menjauhi keharoman-keharoman.” (“Faidhul Qodir”/5/hal. 521).

Dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz رضي الله عنها yang berkata:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار: «من أصبح مفطرا فليتم بقية يومه ومن أصبح صائما فليصم». قالت: فكنا نصومه بعد ونصوم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار.

“Nabi صلى الله عليه وسلم mengutus di pagi hari Asyuro ke desa-desa Anshor: “Barangsiapa masuk di waktu pagi dalam kondisi tidak berpuasa, maka hendaknya dia menyempurnakan sisa harinya (dengan menahan diri dari pembatal puasa). Dan barangsiapa masuk di waktu pagi dalam kondisi berpuasa, maka hendaknya dia melanjutkan puasanya.” Maka kami kemudian berpuasa di hari itu, dan kami menjadikan anak-anak kami berpuasa, dan kami bikin untuk mereka mainan dari kapas. Jika satu orang dari mereka menangis minta makan, kami beri mereka mainan tadi sampai tiba waktu berbuka.” (HR. Al Bukhoriy (1960)).

Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Dalam hadits ini ada pensyariatan dilatihnya anak-anak untuk berpuasa, sebegaimana telah lewat pembahasannya, karena anak seusia yang disebutkan dalam hadits tadi bukanlah mukallaf, hanya saja hal itu  dilakukan pada mereka dalam rangka latihan. Al Qurthubiy membikin keanehansehingga berkata: “Bisa jadi Nabi صلى الله عليه وسلم tidak tahu perbuatan Shohabiyyat tadi, dan itu jauh sekali beliau memerintahkan itu, karena perbuatan tadi menyiksa anak kecil dengan suatu ibadah yang tidak terulang dalam satu tahun.” Hadits Ruzainah yang kami sodorkan terdahulu merupakan bantahan terhadap Al Qurthubiy. Dan yang shohih menurut ahli hadits dan ahli ushul adalah bahwasanya seorang Shohabiy jika berkata: “Kami berbuat demikian pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم” maka hukumnya dalam merupakan bagian dari sunnah Nabi, karena yang jelas adalah bahwasanya beliau صلى الله عليه وسلم tahu amalan tadi. Dan persetujuan para Shohabat yang lain bersamaan dengan banyaknya faktor yang menuntut untuk mereka bertanya pada beliau tentang hukum-hukum, dan ini bukanlah tempat untuk ijtihad sendiri, maka tidaklah mereka lakukan itu kecuali dengan wahyu Alloh pada Nabi-Nya. Wallohu a’lam.” (“Fathul Bari”/4/hal. 201-202).

Dan dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤتى بالتمر عند صرام النخل فيجيء هذا بتمره وهذا من تمره، حتى يصير عنده كوما من تمر. فجعل الحسن والحسين رضي الله عنهما يلعبان بذلك التمر فأخذ أحدهما تمرة فجعلها في فيه. فنظر إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخرجها من فيه فقال: «أما علمت أن آل محمد صلى الله عليه وسلم لا يأكلون الصدقة».

“Dulu Rosululloh صلى الله عليه وسلم didatangi dengan kurma pada masa panen kurma, maka orang-orang datang membawa shodaqoh kurma, sampa erbentuk di dekat beliau setumpuk korma. Lalu datanglah Al Hasan dan Al Husain رضي الله عنهما bermain-main dengan korma tadi, lalu salah satunya mengambil

sebutir kurma dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihatnya lalu mengeluarkannya dari mulutnya seraya bersabda:
“Apakah engkau tidak tahu bahwasanya keluarga Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak memakan shodaqoh?” (HR. Al Bukhoriy (1485) dan Muslim (1069)).

Al Quthubiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada perkara yang menunjukkan bahwasanya anak-anak itu dilarang melakukan perkara yang diharomkan terhadap orang-orang dewasa yang mukallaf sehingga anak-anak tadi terlatih mengikuti adab-adab syariat, beradab dengannya dan terbiasa dengannya.” (“Al Mufhim”/9/hal. 92).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya anak-anak dijaga dari perkara yang orang dewasa dijaga darinya, dan dilarang dari melakukan perkara terlarang tadi. Dan ini merupakan kewajiban para wali.” (“Syarh Shohih Muslim“/Nawawiy/7/hal. 175).

Sebagian ulama mengira bahwasanya Al Hasan رضي الله عنه tidak memahami perkataan Rosululloh صلى الله عليه وسلم , dan ini tidak benar. Bahkan beliau memahaminya dan mengambil faidah darinya, sebagaimana telah lewat ucapan jelas Al Hasan رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Abul Hauro رضي الله عنه pada bab terdahulu.

Maka memasukkan anak ke masjid sambil memperhatikan adab-adab syar’iyyah itu merupakan pembiasaan bagi mereka untuk beribadah pada Alloh di masjid, menyaksikan kebaikan, ilmu dan perkumpulan kaum Muslimin.

Al Imam Ibnu Muflih رحمه الله berkata: “Dan di dalam “Al Funun” karya Ibnu ‘Aqil disebutkan: Hanbal (bin Ishaq) berkata: “Kebaikan itu terbentuk dengan pembiasaan, sementara kejelekan itu sudah terbentuk secara alami.” Lihatlah kepada peraturan syariat:

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun”

Ketika datang kepada kejelekan:

Dan pisahkanlah di antara mereka dalam tempat-tempat tidur.”

Karena beliau tahu bahwasanya yang demikian itu paling banyak terjadi di kalangan orang-orang yang berkumpul.

Al Wazir Ibnu Hubairoh Al Hanbaliy dari sahabat kami menyusun syair:

تعود فعال الخير جمعا فكل ما تعود الإنسان صار له خلقا

“Berlatihlah berbuat seluruh kebaikan, karena perkara yang seseorang terbiasa dengannya itu menjadi akhlak baginya.” (“Al Adabusy Syar’iyyah”/3/hal. 248).

Al Imam Ibnu ‘Utsaimin  berkata: “Adapun jika mereka tidak membikin keributan dengan dihadirkannya mereka ke masjid, maka itu bagus, karena hal itu akan melatih mereka untuk menghadiri jama’ah, membikin mereka berminat dengan masjid-masjid dan terbiasa dengannya.” (“Majmu’ Fatawa Wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin”/12/hal. 324).

Dan tiada keraguan bahwasanya memasukkan anak-anak ke masjid untuk sholat bersama orang-orang dan mendengarkan pelajaran-pelajaran bersama para pelajar itu harus disertai dengan perhatian yang sempurna dari para wali anak-anak tadi agar mereka tidak terjatuh ke dalam akibat buruk dari persahabatan dengan orang-orang yang merusak.

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه Rosululloh صل الله عليه وسلم bersabda:

«الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل».

“Seseorang itu berdasarkan agama teman dekatnya, maka hendaknya salah seorang dari kalian memperhatikan siapakah yang dijadikan sebagai teman dekatnya.” (HSR. Imam Ahmad (8249), Abu Dawud (4835) dan At Tirmidziy (2552), hadits hasan. Dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1272)).

Dari Abu Musa رضي الله عنه , dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:

«مثل الجليس الصالح والسوء، كحامل المسك  ونافخ الكير، فحامل المسك: إما أن يحذيك، وإما أن تبتاع منه، وإما أن تجد منه ريحا طيبة، ونافخ الكير: إما أن يحرق ثيابك، وإما أن تجد ريحا خبيثة».

“Permisalan teman duduk yang sholih dengan teman duduk yang jelek adalah seperti permisalan penjual misik dan tukang pandai besi. kamu tak akan kehilangan kebaikan dari penjual misik tadi, entah kamu akan membeli misik darinya, atau engkau akan mendapatkan aroma harum darinya. Adapun tukang pandai besi, mungkin dia akan membakar badanmu, atau bajumu, atau kamu akan mendapatkan darinya bau busuk.” (HR. Al Bukhoriy (5534) dan Muslim (2628)). 

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini ada keutamaan duduk-duduk dengan orang-orang sholih, para pelaku kebaikan, para penjaga kehormatan, akhlaq yang mulia, waro’ ilmu dan adab. Dan ada larangan terhadap duduk-duduk dengan para pelaku kejahatan, bid’ah-bid’ah, orang-orang yang menggunjingi manusia, atau orang yang banyak kefujurannya dan kebatilannya, dan perkara-perkara yang tercela yang lain.” (“Syarh Shohih Muslim”/16/hal. 178).

Dan para wali anak-anak jika telah mengetahui kebenaran dan batasan-batasan syari’ah maka mereka harus bertaqwa kepada Alloh dan selalu merasa diawasi oleh Alloh dalam mengurus amanah yang agung tersebut, dan harus kokoh di atas kebenaran yang nyata dan tidak peduli pada ejekan-ejekan para pengangguran yang membikin tuduhan bohong dan berkata: “Si wali ini keras sekali dalam mengawasi anak itu,” “Si mas’ul ini tidak membiarkan kita banyak bercanda dengan anak itu.” Para pembela kebenaran di jalan Alloh tidak takut celaan orang yang mencela, karena akibat kelalaian dalam bab ini bisa jadi amat berbahaya sebagaimana telah banyak terjadi.

Pencurahan kasih sayang, belas kasihan dan kelembutan itu penting. Dan semuanya diberikan haknya, di dalam batas-batas syariat.

Anak-anak harus dilatih menghormati orang besar, menyayangi anak kecil, adab berbicara, adab berjalan, adab mengurusi tamu, adab masuk majelis dan keluar dari majelis, dan hubungan-hubungan dengan orang yang lain, sesuai dengan apa yang disebutkan oleh syariat, bukan mengikuti hawa nafsu masyarakat.

Maka kelembutan yang diletakkan pada posisinya itu bukanlah menunjukkan pada kelemahan. Kekerasan yang diletakkan pada tempatnya tidaklah meunjukkan kebengisan hati. Barangsiapa meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dalam rangka mengikuti syariat, maka itu menunjukkan pada ilmu, hikmah dan rohmah dia dalam pengelolaan yang bagus. Dan hanya Alloh sajalah yang memberikan taufiq.

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka lihatlah orang yang memanami suatu kebun dari kebun-kebun yang ada, yang dia itu ahli bercocok tanam, menanami kebun, merawatnya dengan pengairan dan perbaikan, hingga pepohonannya itu berbuah, lalu petani ini memisahkan urat-uratnya, memotongi dahan-dahannya, karena dia tahu bahwasanya jika dibiarkan sesuai keadaannya itu maka buahnya tidak bagus. Dia memberinya makan (sistem menyambung atau menempel) dari pohon yang buahnya bagus, sampai jika pohon yang ini telah menempel dengan pohon yang itu, dan menyatu, serta memberikan buahnya, si petani mendatanginya dengan alat potongnya, dia memotongi dahan-dahannya yang lemah yang bisa menghilangkan kekuatan pohon itu, dan menimpakan padanya sakitnya dipotong dan sakitnya kena besi demi kemaslahatan dan kesempurnaan pohon itu, agar menjadi baiklah buahnya untuk dihadirkan kepada para raja.

Kemudian si petani tidak membiarkan pohon tadi mengikuti tabiatnya untuk makan dan minum sepanjang waktu, bahkan di suatu waktu dia membikinnya haus, dan di waktu yan  lain dia memberinya minum, dan tidak membiarkan air senantiasa menggenanginyasekalipun yang demikian itu membikin daunnya lebih hijau dan lebih mempercepat tumbuhnya. Kemudian dia menuju ke pada hiasan tersebut yang dengannya pohon tadi berhias, yaitu dedaunannya, dia membuang banyak sekali dari hiasannya tadi karena hiasannya itu menghalangi kesempurnaan kematangan buah dan kesetimbangannya sebagaimana di pohon anggur dan semisalnya. Dia memotong bagian-bagiannya dengan besi dan membuang banyak hiasannya. Dan yang demikian itu adalah benar-benar kemaslahatan untuk pohon itu. Seandainya pohon itu punya indra pembeda dan alat pengetahuan seperti hewan, pastilah dia akan menduga bahwasanya perlakuan tadi merusak dirinya dan membahayakan dirinya, padahal itu benar-benar kemaslahatan untuk dirinya.

Demikian pula seorang bapak yang berbelas kasihan pada anaknya, yang tahu akan kemaslahatan anaknya, jika dia melihat kemaslahatannya itu ada pada pengeluaran  darah yang rusak dari badannya, sang bapak akan melukai kulitnya dan memotong uratnya serta menimpakan padanya rasa yang sangat sakit. Dan jika dia melihat kesembuhan sang anak ada pada pemotongan salah satu anggota badannya, dia akan memisahkan anggota badan tersebut darinya. Yang demikian itu adalah kasih sayang untuknya dan belas kasihan untuknya. Dan jika dia melihat bahwasanya kemaslahatan anaknya itu ada pada penahanan pemberian, dia tidak member anaknya dan tidak memperluas pemberian untuknya karena dia mengetahui bahwasanya hal itu adalah sebab terbesar bagi kerusakannya dan kebinasaannya.” (selesai penukilan dari “Al Fawaid”/hal. 92).

Maka kedua orang tuanya itu menjaganya di atas fithroh Islam dengan segenap adab-adab Islamiyyah, atau mereka yang merusak anak itu.

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه أو يمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء». ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه: ﴿فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم﴾.

“Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tiada satu anakpun yang dilahirkan kecuali dia itu dilahirkan di atas fithroh. Lalu kedua orang tuanya itu membikinnya jadi yahudi, atau nashroniy atau majusiy. Sebagaimana hewan melahirkan hewan yang sempurna, maka apakah kalian mendapati di antara anaknya ada yang cacat?”

Kemudian Abu Huroiroh membaca ayat: “Itu adalah fithroh Alloh yang menciptakan manusia di atas fithroh tadi. Tidak boleh ada perubahan terhadap ciptaan Alloh. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (HR. Al Bukhoriy (1359) dan Muslim (2658)). 

Ibnul Atsir رحمه الله berkata: “Makna hadits ini adalah: bahwasanya anak yang dilahirkan itu dilahirkan di atas semacam cetakan, yaitu fithroh Alloh ta’ala, dan bahwasanya dia itu siap untuk menerima kebenaran secara alami dan suka rela. Andaikata para setan manusia dan jin membiarkan dirinya dan pilihannya tadi, niscaya anak tadi tidak akan memilih yang lain. Lalu Nabi membikin permisalan untuk masalah itu dengan binatang yang sempurna dan binatang yang cacat. Yaitu: hewan itu melahirkan hewan yang sempurna tubuhnya, anggota badannya seimbang dan selamat dari cacat. Andaikata manusia tidak ikut campur dengannya niscaya dia akan tetap seperti sediakala sebagaimana saat dia dilahirkan dengan selamat.” (“An Nihayah Fi Ghoribil Atsar”/hal. 705).

Tanggung jawab ini pada asalnya dipikul oleh kedua orang tua, atau orang yang menduduki posisi keduanya. As Sindiy رحمه الله berkata: “Kesimpulannya adalah: jika anak itu berpindah kepada agama yang lain, maka itu terjadi dengan perantara orang lain. Dan yang dimaksudkan dengan “kedua orang tuanya” itu adalah permisalan. Atau yang dimaksudkan dengan “kedua orang tuanya” adalah ayah bundanya atau yang menduduki posisi keduanya yang diikuti oleh sang anak, dari kalangan setan-setan manusia dan jin.” (“Hasyiyatus Sindiy ‘Ala Shohihil Bukhoriy”/1/hal. 199).

Maka hendaknya kedua orang tua dan orang yang menduduki posisi keduanya itu bertaqwa kepada Alloh, karena Alloh menjadikan mereka sebagai pengurus amanah ini, maka Alloh melihat bagaimana mereka berbuat.

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan termasuk perkara yang paling dibutuhkan oleh anak kecil adalah: perhatian orang tua akan urusan akhlaq mereka, karena anak itu tumbuh di atas perkara yang dibiasakan oleh pendidiknya di masa kecilnya, berupa: sifat pelit, kemarahan, terus-menerus dalam kesalahan, tergesa-gesa, mudah mengikuti hawa nafsu, liar, keras, rakus, sehingga sulitlah baginya ketika sudah besar untuk memperbaikinya, sehingga jadilah akhlaq ini sifat dan karakter yang mendarah daging baginya. Andaikata dia berusaha melindungi diri dari sifat-sifat tadi dengan usaha yang amat keras, suatu hari akan terbongkar lagi sifat aslinya. Oleh karena itulah engkau dapati kebanyakan orang itu akhlaqnya menyeleweng. Dan itu ternyata hasil dari pendidikannya yang dia tumbuhan di atasnya.

Demikian pula sang anak jika telah berakal maka dia wajib untuk menjauhi majelis-majelis permainan, kebatilan, lagu-lagu, mendengar kekejian dan kebid’ahan serta ucapan yang buruk, karena jika perkara tadi telah menempel di pendengarannya, susahlah baginya untuk berpisah darinya ketika sudah besar, dan sulit bagi walinya untuk menyelamatkannya dari perkara tadi. Maka perubahan adat kebiasaan itu merupakan perkara yang paling susah, pelakunya memerlukan pembaharuan tabiat yang kedua. Dan keluar dari cengkeraman tabiat itu susah sekali.

 Walinya juga harus amat menjauhkannya dari bermudah-mudah mengambil barang dari orang lain, karena anak ini kapan saja dia terbiasa mengambil barang dari orang lain, jadilah itu tabiat dia dan tumbuh untuk biasa mengambil bukan memberi. Walinya harus membiasakannya untuk suka memberi dan mencurahkan kebaikan. Jika sang wali ingin memberi sesuatu, hendaknya dia itu memberikannya melalui tangan anak tadi, agar dia merasakan manisnya pemberian.

Dan hendaknya sang wali menjauhkannya dari kedustaan dan pengkhianatan, lebih besar daripada dia menjauhkannya dari kumpulan racun. Karena kapan saja anak itu bermudah-mudah untuk berdusta dan berkhianat, rusaklah kebahagiaan dunianya dan akhiratnya, dan terhalanglah dia dari seluruh kebaikan.

Dan hendaknya juga menjauhkannya dari kemalasan, menganggur, ataupun bersantai-santai. Bahkan harus melatihnya dengan yang sebaliknya, dan tidak menyenangkannya kecuali dengan perkara yang memperkuat jiwanya dan badannya untuk melakukan kesibukan, karena kemalasan dan pengangguran itu punya akibat buruk dan berujung pada penyesalan, sementara kesungguhan dan kecapekan itu punya akibat yang terpuji, di dunia atau di akhirat atau dua-duanya.

Maka orang yang paling senang (nantinya) adalah orang yang paling capek (sekarang), dan orang yang paling capek (nantinya) adalah orang yang paling senang (sekarang). Maka kepemimpinan di dunia dan kesuksesan di akhirat itu tidak bisa dicapai kecuali melalui jembatan kecapekan.

Yahya bin Abi Katsir berkata: “Ilmu tidak bisa diraih dengan badan yang santai.”

Dan juga membiasakannya untuk bangun di akhir malam, karena itu adalah waktu pembagian ghonimah dan hadiah, maka ada orang yang mendapatkan banyak, ada yang mendapatkan sedikit, dan ada juga yang tidak dapat apa-apa. Maka jika dia terbiasa sejak kecilnya untuk sholat malam, akan mudahlah baginya jika sudah besar.

Pasal. Dan hendaknya orang tuanya menjauhkannya dari makanan yang berlebihan, bicara yang berlebihan, tidur yang berlebihan, pergaulan yang berlebihan dengan orang-orang, karena kerugian-kerugian itu terjadi karena berlebihan dalam perkara tadi. Perkara tadi akan meluputkan sang hamba dari kebaikan dunianya dan akhiratnya.

Dan dijauhkan juga sejauh-jauhnya dari bahaya-bahaya syahawat yang terkait dengan perut dan kemaluan, karena membebaskan dan melapangkan anak untuk masuk ke sebab-sebab syahawat tadi akan menyebabkan kerusakan yang susah untuk diperbaiki setelah itu. Alangkah banyaknya orang tua yang mencelakakan anaknya, sang buah hatinya di dunia dan akhirat, gara-gara orang tua menyepelekannya dan tidak mendidiknya serta tidak membantunya untuk menghadapi syahwatnya. Dia mengira bahwasanya dia memuliakan anaknya, padahal dia telah menghinakannya. Dia mengira menyayangi anaknya, padahal dia telah menzholimi anaknya dan menghalanginya dari kebaikan, sehingga dia gagal mengambil manfaat dari anaknya di dunia dan akhirat.

Jika engkau merenungkan kerusakan yang terjadi pada anak-anak, maka engkau akan melihat bahwasanya kebanyakannya adalah disebabkan oleh orang tuanya sendiri.

Pasal. Orang tua harus amat waspada jangan sampai sang anak mengkonsumsi bahan yang bisa menghilangkan akalnya, baik berupa barang memabukkan ataupun yang lainnya, atau bergaul dengan orang yang dikhawatirkan kerusakannya, atau berbicara dengannya, atau mengambil mengambil sesuatu dari tangan orang itu, karena itu semua adalah sumber kebinasaan. Kapan saja dia mudah melakukan itu, maka sungguh dia akan bermudah-mudah kehilangan sifat cemburu, dan orang yang tidak punya kecemburuanitu tidak akan masuk Jannah. Tidak ada perkara yang merusak anak-anak semisal kelalaian orang tua dan peremehan mereka adanya “api di sela-sela baju mereka”. Dan seterusnya. (selesai dari “Tuhfatul Maudud”/hal. 240-243).

Jika para anak terbiasa dengan kebaikan dan ketaatan, maka alangkah nikmatnya. Dari Abu Huroiroh  رضي الله عنه dari Nabi  صلى الله عليه وسلم yang bersabda:

«سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله الإمام العادل ، وشاب نشأ في عبادة ربه ، ورجل قلبه معلق في المساجد ، ورجلان تحابا في الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه ، ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال: إني أخاف الله . ورجل تصدق أخفى حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه ، ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه».

“Ada tujuh golongan yang dinaungi Alloh di dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya: “Pemimpin yang adil, anak muda yang tumbuh dalam ibadah kepada Robbnya, seseorang yang hatinya terpaut kepada masjid-masjid, dua orang yang saling cinta karena Alloh, berkumpul karena Alloh, dan berpisah pun karena-Nya, seseorang yang diminta oleh seorang perempuan yang punya kedudukan dan kecantikan tapi dia berkata: “Sesungguhnya aku takut pada Alloh.” Dan seseorang yang bersedekah dan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, serta orang yang mengingat Alloh sendirian lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Al Bukhory (660) dan Muslim (1031)).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata: “Maka anak muda yang tumbuh dalam ibadah, dia punya nilai tinggi dalam fiqihnya, dan ilmunya, serta nasihatnya, karena dia telah terdidik di atas ilmu, keutamaan, amal dan ibadah serta kebaikan, sehingga dengan itu jadilah dia bermanfaat untuk dirinya sendiri, bermanfaat untuk para hamba Alloh sejak dari dasar masa mudanya sampai berjumpa dengan Robbnya (insya Alloh).” (“Majmu’ Fatawa Wa Maqolat Ibnu Baz”/5/hal.120).

Dan ayah bundanya akan mendapatkan pahala yang banyak dengan sebab itu. Di antaranya adalah: dicatat untuk keduanya amal sholih yang terus mengalir.

Dari Abu Huroiroh  رضي الله عنه dari Nabi  صلى الله عليه وسلم yang bersabda:

«إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له».

“Jika manusia mati, terputuslah darinya amalannya kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak sholih yang mendoakan untuk kebaikannya.” (HR. Muslim (1631)). Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan ini termasuk dalil terbesar akan kemuliaan ilmu, keutamaannnya dan keagungan buahnya, karena pahalanya sampai kepada orang itu setelah kematiannya sepanjang ilmunya diambil manfaatnya. Maka seakan-akan dia itu hidup, amalnya tidak terputus, ditambah lagi dengan keuntungan berupa hidupnya penyebutan dan pujian untuknya. Maka aliran pahalanya kepadanya ketika pahala amalan itu terputus dari orang-orang merupakan “kehidupan kedua” baginya. Nabi صلى الله عليه وسلم mengkhususkan tiga perkara ini dengan sampainya pahalanya kepada orang yang mati karena dia adalah sebab terjadinya tiga perkara ini.

Seorang hamba jika melakukan suatu sebab secara langsung, yang terkait dengan perintah dan larangan, maka akibatnya akan dia dapatkan sekalipun akibat tadi ada di luar upaya dan pekerjaan dia. Manakala dia adalah sebab terjadinya anak sholih, shodaqoh jariyah, dan ilmu yang bermanfaat ini, pahala dan ganjarannya mengalir kepadanya karena dia melakukan suatu sebab terjadinya perkara tadi. Sang hamba itu diberi pahala karena amalan yang dikerjakannya secara langsung, atau perkara yang terlahir dari amalan tadi.”

(“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 175).

Dengan sebab anak sholih itu, Alloh mengangkat derajat kedua orang tuanya di Jannah. Alloh ta’ala berfirman:

(جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ * سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار( [الرعد/23، 24].

“Yaitu janah-jannah ‘Adn yang mereka memasukinya bersama orang yang sholih dari kalangan bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Dan para malaikat masuk mengunjungi mereka dari seluruh pintu dengan berkata: Salam sejahtera untuk kalian disebabkan oleh kesabaran kalian. Maka ini adalah negri kesudahan yang terbaik.”

Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Yaitu Alloh mengumpulkan di Jannah antara mereka dan orang-orang yang mereka cintai dari kalangan bapak-bapak mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka, yang memang pantas untuk masuk ke dalam Jannah, agar  hati mereka jadi sejuk dengankeberadaan mereka, sampai-sampai Alloh mengangkat derajat orang yang lebih rendah ke derajat orang yang lebih tinggi, tanpa mengurangi orang yang lebih tinggi dari derajatnya, bahkan itu adalah karunia dan kebaikan dari Alloh, …dst” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 688/cet. Darush Shiddiq).

Ini umum: anaknya mendoakan keduanya ataupun tidak mendoakan keduanya. Jika anaknya tadi mendoakan keduanya, maka itu tambahan kebaikan lagi.

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:

«إن الله عز وجل ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول: يا رب أنى لي هذه؟ فيقول: باستغفار ولدك لك».

“Sesungguhnya Alloh عز وجل mengangkat derajat untuk hamba yang sholih di Jannah, maka dia bertanya: Wahai Robbku, dari mana saya mendapatkan derajat ini? Maka Alloh menjawab: Dengan permohonan ampunan anakmu untukmu.” (HR. Al Imam Ahmad (10710) dan yang lainnya, dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (1389)).

(yang berikut ini benar-benar pahala agung bagi sang orang tua, kabar gembira bagi orang yang rajin mempelajari Al Qur’an,dan sekaligus ada jawaban atas pertanyaan Abu Muqbil حفظه الله tentang cara menghapal Al Qur’an)

Dan kedua orang tuanya akan mendapatkan pasangan baju yang tidak sanggup dipikul oleh penduduk dunia.

Dari Abdulloh bin Buroidah, dari ayahnya رضي الله عنه yang berkata:

كنت جالسا عند النبي صلى الله عليه و سلم فسمعته يقول: «تعلموا سورة البقرة فإن أخذها بركة وتركها حسرة ولا يستطيعها البطلة». قال: ثم مكث ساعة ثم قال: «تعلموا سورة البقرة وآل عمران فإنهما الزهراوان يظلان صاحبهما يوم القيامة كأنهما غمامتان أو غيايتان أو فرقان من طير صواف وإن القرآن يلقى صاحبه يوم القيامة حين ينشق عنه قبره كالرجل الشاحب فيقول له هل تعرفني فيقول ما أعرفك فيقول له هل تعرفني فيقول ما أعرفك فيقول أنا صاحبك القرآن الذي أظمأتك في الهواجر وأسهرت ليلك وإن كل تاجر من وراء تجارته وإنك اليوم من وراء كل تجارة فيعطى الملك بيمينه والخلد بشماله ويوضع على رأسه تاج الوقار ويكسى والداه حلتين لا يقوم لهما أهل الدنيا فيقولان بم كسينا هذه فيقال بأخذ ولدكما القرآن. ثم يقال له اقرأ واصعد في درجة الجنة وغرفها فهو في صعود ما دام يقرأ هذا كان أو ترتيلا». (أخرجه ابن أبي شيبة (30045) والإمام أحمد بن حنبل (23000)/حسن لغيره).

“Aku pernah duduk di sisi Nabi صلى الله عليه وسلم , lalu aku mendengar beliau bersabda: “Pelajarilah surat Al Baqoroh, karena mengambilnya merupakan keberkahan, meninggalkannya merupakan penyesalan, dan para batholah (tukang sihir) tidak sanggup mengalahkannya.” Kemudian beliau terdiam sesaat, lalu beliau bersabda: “Pelajarilah surat Al Baqoroh dan surat Ali ‘Imron, karena keduanya bagaikan dua bunga yang menaungi orang yang mempelajarinya pada hari Kiamat, seakan-akan keduanya adalah dua awan atau dua naungan atau dua kelompok burung yang berbaris-baris. Dan sesungguhnya Al Qur’an itu akan menjumpai orang yang mempelajarinya pada hari Kiamat ketika kuburannya terbuka untuknya, bagaikan orang yang wajahnya berubah karena perjalanan jauh. Lalu dia berkata padanya: “Apakah engkau mengenalku?” maka dia menjawab: “Aku tidak mengenalmu.” Lalu dia berkata padanya: “Apakah engkau mengenalku?” maka dia menjawab: “Aku tidak mengenalmu.”  Maka dia berkata padanya: “Aku adalah sahabatmu, Al Qur’an yang membikinmu dahaga di siang hari, dan membikinmu begadang di malam hari. Dan sesungguhnya setiap pedagang ada di belakang barang dagangannya. Dan sungguh engkau pada hari ini ada di belakang seluruh barang dagangan.” Lalu dia diberi kekuasaan dengan tangan kanannya, dan diberi kekekalan dengan tangan kirinya, dan diletakkan di atas kepalanya mahkota kewibawaan, dan kedua orang tuanya diberi dua pakaian yang tidak bisa dipikul oleh penduduk dunia. Kedua bertanya: “Dengan sebab apa kami diberi pakaian ini?” dijawab: “Dengan sebab anak kalian berdua mempelajari Al Qur’an.” Lalu dikatakan kepada sang anak: “Bacalah dan naikilah derajat di Jannah dan kamar-kamarnya.” Dan dia terus-menerus naik selama dia membaca Al Qur’an dengan cepat atau dengan tartil (pelan-pelan).” (HR. Ibnu Abi Syaibah (30045) dan Ahmad (23000)/hasan lighoirih).

Jika ada orang berkata: dalil-dalil ini menunjukkan orang tua mendapatkan manfaat dari anaknya setelah keduanya meninggal. Maka bagaimana jika sang anak yang lebih dulu meninggal?

Kita jawab –dengan taufiq Alloh semata: sesungguhnya sebagian dalil itu umum mencakup ini dan itu. Dan juga jika sang anak yang sholih lebih dulu meninggal daripada orang tuanya, maka Alloh telah menyiapkan kebaikan yang agung, yang berat dan mengagumkan di timbangan Kiamat.

Dari Zaid bin Abi Salam dari shohabiy yang menjadi pembantu Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : «بخ بخ لخمس ما أثقلهن في الميزان لا إله إلا الله والله أكبر وسبحان الله والحمد لله والولد الصالح يتوفى فيحتسبه والده». وقال: «بخ بخ لخمس من لقي الله عز و جل مستيقنا بهن دخل الجنة يؤمن بالله واليوم الآخر وبالجنة والنار وبالبعث بعد الموت والحساب». (أخرجه الإمام أحمد بن حنبل (18101)/صحيح).

“Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bakh bakh (kalimat kekaguman), bagi lima perkara, alangkah beratnya dia di timbangan: La ilaha illalloh wallohu akbar wa subhanallohu wal hamdulillah, dan anak sholih yang wafat dan orang tuanya mengharapkan pahala Alloh dengannya.” Beliau juga bersabda: “Bakh bakh (kalimat kekaguman), bagi lima perkara, barangsiapa berjumpa Alloh عز وجل dalam keadaan yakin dengan itu dia akan masuk Jannah: beriman pada Alloh dan Hari Akhir, beriman pada Jannah dan beriman pada Neraka, beriman pada kebangkitan setelah kematian, beriman pada hisab.” (HR. Ahmad (18101)/shohih).

Maka kita tidak boleh menyepelekan urusan anak-anak, bahkan kita harus berupaya untuk memperbaiki mereka karena mereka itu termasuk tambang perbedaharaan kebaikan di dunia dan akhirat.


Bab Empat:





Kondisi Hadits Yang Memerintahkan Untuk Menjauhkan Anak-anak Dari Masjid-Masjid



Sebagian ulama berargumentasi dengan hadits Watsilah ibnul Asqo’ رضي الله عنه: Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم وشراءكم وبيعكم وخصوماتكم ورفع أصواتكم وإقامة حدودكم وسل سيوفكم . واتخذوا على أبوابها المطاهر . وجمروها في الجمع».

“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak dan orang-orang gila dari kalian, dari jual beli kalian, dari pertengkaran kalian, dari teriakan kalian, dari pelaksanaan hukuman kalian, dan dari terhunusnya pedang-pedang kalian. Dan buatlah tempat bersuci di depan pintu-pintunya, dan bikinlah wewangian dupa untuknya di hari-hari Jum’at.” (HR. Ibnu Majah (575) dan lain-lain).

Di dalam sanadnya ada Al Harits An Nabhaniy, matrukul hadits, dan Utbah bin Yaqzhon, lemah sekali. Dalam sanadnya juga ada Abu Sa’id dari Makhul. Abu Sa’id ini adalah Al ‘Ala bin Katsir Ad Dimasyqiy, munkarul hadits. Hadits ini punya pendukung yang tidak menyenangkan, dari hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم . (HR. Ath  Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Kabir” (369)).

Di dalam sanadnya ada Yahya ibnul ‘Ala, pendusta. Dalam sanadnya juga ada riwayat Makhul dari Mu’adz, sementara beliau tidak mendengar dari Mu’adz, sebagaimana perkataan As Sakhowiy رحمه الله dalam “Al Maqoshidul Hasanah” no. (372).

Hadits ini juga punya pendukung-pendukung yang lemah sekali, tidak bisa untuk argumentasi.

Hadits ini dihukumi lemah oleh Ibnul Qoththon dalam “Bayanul Wahm Wal Iiham” (3/ahl. 189), Al Baihaqiy dalam “As Sunanul Kubro” (10/hal. 103), Ibnu Rojab dalam “Fathul Bari” beliau (3/hal. 281), Mughlathoiy dalam “Syarh Sunan Ibni Majah” (hal. 1246), Ibnul Mulaqqin dalam “Al Badrul Munir” (9/hal. 565), Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” beliau (13/hal. 157), dan para imam yang lain, semoga Alloh merohmati mereka semua.

Syaikh kami Al ‘Allamah Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله ditanya: “Ini ada Ibrohim bin Ahmad Al Khoulaniy berkata: saya mendengar dari siaran Fatwa Shon’a, ketika juru fatwany itanya tentang hukum memasukkan anak-anak ke dalam masjid, maka sang juru fatwa di siaran itu menjawab: “Itu tidak boleh.” Dan dia berdalilkan dengan hadits:

«جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم»

“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak dan orang-orang gila dari kalian.”

Maka Syaikh kami Yahya حفظه الله menjawab: “Hadits ini lemah. “Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak dan orang-orang gila dari kalian.” Dan hadits ini isinya juga munkar, karena Nabi صلى الله عليه وسلم didatangi Al Hasan dan Al Husain yang berjalan, lalu keduanya tergelincir jatuh, maka beliau turun dari mimbar, seraya mengambil keduanya, kemudian beliau naik ke mimbar dengan menggendong keduanya, lalu beliau bersabda: “Benarlah Alloh yang berfirman: “Harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah fitnah bagi kalian.” Aku melihat kedua anak ini maka aku tidak sabar.” Hadits tersebut dari Buroidah ibnul Hushoib رضي الله عنه di dalam “As Sunan”. Dan itu shohih, tersebut dalam “Ash Shohihul Musnad” karya Asy Syaikh Muqbil رحمه الله. Dan juga karena Ibnu Abbas dan para Shohabat kecil yang lain رضي الله عنهم , biasa sholat bersama Nabi صلى الله عليه وسلم .” (selesa ar kitab “Jilsah Sa’ah”/karya Asy syaikh yahya Al Hajuriy حفظه الله).

والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.

Shon’a 14 Jumadats Tsaniyah 1435 H.

Tanggal perbaikan: 22 Jumadats Tsaniyah 1435 H. BERSAMBUNG…



Sumber :
 https://ashhabulhadits.wordpress.com/2014/04/18/hukum-memasukkan-anak-ke-masjid/#more-6949


 http://at-takalariy.blogspot.com/2014/04/hukum-memasukkan-anak-ke-masjid.html?m=1 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Belajar Di Jami'ah Islamiyyah Madinah

Menanggapi akan makruh nya istri memakai celana dalam

Berqurban Sesuai Dengan Sunnah Rosulullooh ﷺ